Dalam tulisan sebelumnya, dijelaskan
bahwa kelahiran UU No 38 Tahun 1999 telah merubah secara dramatis dunia
zakat di Indonesia. Legalisasi Lembaga Amil Zakat sebagai representasi
masyarakat menjadi faktor penentu utama perubahan fundamental tersebut.
Dalam kurun kurang dari 10 tahun, dana sosial Islam, utamanya zakat,
telah berubah dari pengelolaan ‘seputar Ramadhan’ dan untuk ‘kebutuhan
sosial’ fakir miskin, menjadi sebuah kegiatan yang menghasilkan tidak
saja layanan sosial gratis, tetapi hingga pendidikan dasar – perguruan
tinggi dan tentu saja pemberdayaan ekonomi di begitu banyak pelosok
Indonesia.
10 Tahun adalah rentang yang sangat
pendek untuk sebuah perubahan mendasar diseluruh wilayah Indonesia. Dan
Zakat, adalah sedikit dari yang mampu melakukannya. Sesuatu yang harus
disyukuri adalah, perubahan itu dilakukan oleh masyarakat. Ini kemudian
membuka pertanyaan berikutnya: potensi apalagi yang masih tertidur?
Jawaban pertanyaan tersebut dikaitkan dengan Amandemen UU 38 1999 akan
menjadi titik sentral pergulatan pemberdayaan sosial di Indonesia dimasa
depan.
Dari sisi pandang keberhasilan zakat
sebagai pengentas kemiskinan, prestasi zakat di 10 tahun terakhir,
nyaris tidak ada apa-apanya dihadapan problematika kemiskinan umat Islam
di Indonesia. Namun bila ditilik dari perubahan yang terjadi, sebuah
prestasi besar sedang ditorehkan. Edisi kali ini akan melihat bagaimana
prestasi tersebut dihasilkan
Dua Jalan BAZ & LAZ
Dibandingkan dengan BAZ, LAZ lebih
berhasil memanfaatkan peluang UU 38 1999, karena tiga faktor. Pertama,
LAZ relatif terbebas dari birokrasi dan kepentingan politik
pemerintahan. BAZ terjebak diantara kepentingan politis aparatur
pemerintah. Kondisi ini sangat menyulitkan BAZ untuk secara lincah
memanfaatkan peluang. Mekanisme penyesuaian struktur dan SDM di LAZ
dapat dilakukan kapan saja menyesuaikan kesempatan atau hambatan yang
muncul. Hal tersebut tidak dapat dilakukan oleh BAZ sebagai ‘organ’
pemerintah.
Kebijakan operasional LAZ ditentukan
oleh sedikit orang menurut kewenangan yang sudah ditentukan, sehingga
dapat cepat dilakukan. Struktur LAZ ditentukan utamanya berdasarkan
kebutuhan organisasi, BAZ masih harus mengakomodasi kepentingan politis
diluar organisasinya. Struktur LAZ lebih ramping, struktur BAZ lebih
gemuk dan seringkali lebih kepada kebutuhan prestise.
Kedua, LAZ tidak dapat bergantung pada
siapapun kecuali dirinya. Ini memaksa pengelola LAZ untuk tampil lebih
agresif dalam menjamin keberlangsungan organisasi dan
program-programnya. Pada gilirannya, ini mendorong pengelola menjadi
lebih kreatif, adaptif menyesuaikan diri dengan kebutuhan donatur, dan
mengembangkan pola komunikasi yang lebih kreatif.
Pengelola LAZ juga harus ‘bersaing’
dengan lembaga sejenis, yang sama agresif dan kreatif. Meski kemudian
terlihat perbedaan fokus program, secara keseluruhan, perbaikan yang
signifikan pada tawaran layanan, baik bagi dhuafa maupun muzakki.
Sementara itu, secara keseluruhan BAZ
melihat pegawai negeri sebagai captive market-nya. Dengan dukungan
instruksi vertikal kepala daerah, BAZ lebih fokus pada ‘segmen’nya
dengan tingkat kritis yang lebih tidak ketara. Ditambah dengan dukungan
anggaran dan fasilitas lainnya seperti PNS yang ditugaskan sebagai
pengelola, BAZ tidak menghadapi tekanan nyata seperti LAZ.
Ketiga adalah kepercayaan publik. BAZ
berangkat dari posisi yang lebih sulit dibandingkan LAZ. Pengelolaan
sebelum UU 38 dilahirkan, tidak segera dapat dihapus dari benak donatur
secara keseluruhan. Ketika informasi telah sangat baik, edukasi juga
sama baiknya, kesadaran yang timbul berhadapan dengan citra masa lalu.
Meskipun telah memperbaiki kinerja, label pemerintah pada BAZ tetap
menimbulkan tantangan tersendiri.
Celah Besar
Proses tumbuhnya LAZ yang begitu cepat,
menyisakan sebuah celah besar dalam gambar pengelolaan zakat yang lebih
luas. Berupaya menjadi lebih baik untuk menarik dukungan telah
menjadikan LAZ berhasil tampil menarik dan atraktif, namun
tertatih-tatih dalam sinergi dengan lembaga sejenis. Meskipun tidak
diakui, dapat dirasakan bahwa tolok ukur keberhasilan masih ada pada
kinerja pengumpulan dana.
Dalam teknis yang berbeda, LAZ
mengembangkan program yang sama. Pendidikan, santunan sosial dan
ekonomi. Keseluruhan program tersebut dikemas dan dikomunikasikan ulang
kepada muzakki dan calon muzakki. Tanpa komunikasi yang terjalin, satu
dari dua kondisi berikut mudah ditemukan atau diamati. Pertama, satu
calon muzakki menerima tawaran dari dua atau lebih LAZ, atau yang kedua
satu wilayah mendapatkan perhatian lebih, wilayah yang lain tidak
mendapatkan perhatian yang memadai.
‘Perang Iklan/spanduk’ adalah salah satu
indikasi yang mudah dilihat, karena lebih sering menampilkan program
masing-masing dan amat jarang menampilkan gagasan sinergi antar lembaga.
Meski tidak banyak, saling ‘menampilkan kelemahan lembaga lain’ juga
sudah dilaporkan oleh calon muzakki. Dengan pencapaian yang demikian
besar, hampir tidak ditemukan koordinasi untuk distribusi, baik dari
sebaran program maupun wilayah.
Namun kelemahan ini tidak semata hanya
pada pengelola LAZ. Dalam contoh yang lain, ‘persaingan’ antara BAZ dan
LAZ terjadi dalam tingkatan yang lebih keras. Artinya, apabila dibiarkan
secara alami, akan sulit dijumpai dua lembaga pengelola zakat yang
mampu membangun komunikasi dan kerjasama pada lingkup yang lebih luas
dan mendasar dari apa yang ditunjukkan pada penanganan bencana alam.
Dalam porsi tertentu, sinergi antar
lembaga zakat masih belum dianggap sebagai hal yang urgent. Beberapa
upaya komunikasi terus dilakukan. Di Batam, beberapa LAZ telah secara
aktif bertukar data, terutama menghadapi momen tahun ajaran baru, Idul
Fitri dan Qurban. Namun fokusnya masih mencegah penumpukan bantuan pada
orang yang sama. Komunikasi itu belum tumbuh pada kerangka kesadaran
harus adanya perencanaan kegiatan dan strategi.
Potensi Terbengkalai
Bila sinergi adalah sebuah keharusan,
sesungguhnya tersedia alat bantu yang mampu mendorong terwujudnya
sinergi lembaga zakat. Alat bantu itu adalah birokrasi kepemerintahan.
UU 38 telah mensyaratkan hadirnya ‘pengaturan’ oleh kepala daerah, namun
kewenangan tersebut tidak dimanfaatkan secara optimal.
Dihampir semua daerah, kepala daerah
menempatkan BAZ sama persis seperti LAZ, mendorong BAZ untuk ‘bersaing’
dengan LAZ dan melupakan perbedaan latar belakang yang sangat tajam yang
telah coba diutarakan diatas. Tanpa melanggar UU, kepala daerah bisa
menempatkan BAZ bersama dengan organ lainnya (perencanaan pembangunan,
pengawasan anggaran) untuk tampil mengisi celah yang masih terbuka.
Kekuatan BAZ adalah dukungan struktural
dan akses terhadap organ pengawasan daerah, kekuatan LAZ adalah
fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi. Kelemahan BAZ adalah lingkungan
birokratif pemerintahan, kelemahan LAZ adalah kesulitan bersinergi.
Bila kesemuanya diletakkan diatas meja, mencoba melihat secara jernih,
maka terbuka beberapa peluang.
Tahun 2008, diantara sesi pelatihan
zakat di Jakarta, pendekatan yang lain coba dibahas dengan utusan BAZ
Propinsi dari Sulawesi. Ide yang dibahas adalah: pertama, BAZ tidak
didorong menjadi seperti LAZ diwilayah operator sebab BAZ akan sangat
kesulitan mengejar ketinggalan. BAZ didorong sebagai supervisor. Kedua,
menjadikan BAZ sebagi informal leader didaerah.
BAZ dapat mengajak seluruh LAZ untuk
menjalankan program yang dibiayai BAZ, menurut kompetensinya
masing-masing. Biaya program dapat berasal dari anggaran pemerintah
maupun dana yang dikumpulkan BAZ. Kepala Daerah akan mengaudit program
yang dibiayai dengan bantuan sebuah akuntan public. LAZ juga didorong
untuk mempublikasikan kinerja program tersebut melalui media massa
lokal. Pemerintah melalui anggaran BAZ membiayai audit akuntan publik
dan publikasi. Kepala Daerah menggunakan kewenangan yang diberikan UU
untuk memastikan seluruh lembaga ikut serta.
Dalam ‘keterpaksaan’ BAZ dan LAZ, akan
mulai menghancurkan sekat. Publikasi kegiatan dan hasil audit akuntan
publik akan mendorong BAZ dan LAZ menyempurnakan administrasi
kegiatannya. Publikasi akan memperbaiki posisi akuntabilitas BAZ dan
LAZ, pengelola zakat daerah, secara keseluruhan. Selain itu, BAZ dapat
memerankan fungsi informal leader dengan terus menerus mengambil
inisatif. Kinerja program tentu saja menjadi kinerja BAZ selaku pemilik
program dan penyandang dana.
Tentu akan ada keterkejutan, keengganan
dan kesulitan teknis lainnya. Akan ada banyak hal yang perlu dirumuskan.
Kuncinya ada diperubahan mendasar cara pandang tentang posisi dan peran
BAZ. Pendekatan ini memungkinan terjadinya peningkatan akuntabilitas
seluruh lembaga pengelola dan pada saat bersamaan, memicu sinergi yang
menjadi kunci peningkatan manfaat pengelolaan secara luas. Pemanfaatan
potensi disemua lini ini pada akhirnya mendorong tumbuhnya kepercayaan
kepada pengelola zakat.
Tantangan
Pertanyaan mendasar adalah bagaimana
memulainya. Tentu saja, perubahan tersebut harus dimulai dari merubah
cara pandang terhadap posisi dan peran BAZ. Masih diperlukan waktu
sebelum Pemerintah menjadi pengelola tunggal zakat di Indonesia, seperti
halnya Malaysia, atau Singapura untuk waqaf. Artinya diantara pengelola
zakat (BAZ dan LAZ) masih akan terjadi dinamika yang serupa, dalam
bentuk yang berbeda.
UU no 23 2011 sebagai hasil amandemen UU
38 1999 akan merubah wajah pengelolaan zakat di Indonesia. Bila
Judicial Review yang sedang dipersiapkan tidak sampai mengubah UU 23
2011 secara mendasar, maka tantangan yang dihadapi akan jauh lebih
besar, karena perubahan peran dan fungsi pengelola zakat secara
mendasar.
Apapun perubahan yang dibawa oleh
hadirnya UU no 23 2011 tidak boleh sampai mengorbankan kepentingan
dhuafa/ mustahiq sebagai tujuan utama pengelolaan zakat. Komunikasi,
sinergi baik antara BAZ dan LAZ maupun diantara LAZ harus terjadi,
karena merupakan syarat mutlak perbaikan kinerja pengelolaan zakat
secara umum.
Sumber : dsniamanah.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar