Rabu, 07 November 2012

Menyambut UU Zakat Baru (2)

Dalam tulisan sebelumnya, dijelaskan bahwa kelahiran UU No 38 Tahun 1999 telah merubah secara dramatis dunia zakat di Indonesia. Legalisasi Lembaga Amil Zakat sebagai representasi masyarakat menjadi faktor penentu utama perubahan fundamental tersebut. Dalam kurun kurang dari 10 tahun, dana sosial Islam, utamanya zakat, telah berubah dari pengelolaan ‘seputar Ramadhan’ dan untuk ‘kebutuhan sosial’ fakir miskin, menjadi sebuah kegiatan yang menghasilkan tidak saja layanan sosial gratis, tetapi hingga pendidikan dasar – perguruan tinggi dan tentu saja pemberdayaan ekonomi di begitu banyak pelosok Indonesia.
10 Tahun adalah rentang yang sangat pendek untuk sebuah perubahan mendasar diseluruh wilayah Indonesia. Dan Zakat, adalah sedikit dari yang mampu melakukannya. Sesuatu yang harus disyukuri adalah, perubahan itu dilakukan oleh masyarakat. Ini kemudian membuka pertanyaan berikutnya: potensi apalagi yang masih tertidur? Jawaban pertanyaan tersebut dikaitkan dengan Amandemen UU 38 1999 akan menjadi titik sentral pergulatan pemberdayaan sosial di Indonesia dimasa depan.
Dari sisi pandang keberhasilan zakat sebagai pengentas kemiskinan, prestasi zakat di 10 tahun terakhir, nyaris tidak ada apa-apanya dihadapan problematika kemiskinan umat Islam di Indonesia. Namun bila ditilik dari perubahan yang terjadi, sebuah prestasi besar sedang ditorehkan. Edisi kali ini akan melihat bagaimana prestasi tersebut dihasilkan

Dua Jalan BAZ & LAZ
Dibandingkan dengan BAZ, LAZ lebih berhasil memanfaatkan peluang UU 38 1999, karena tiga faktor.  Pertama, LAZ relatif terbebas dari birokrasi dan kepentingan politik pemerintahan. BAZ terjebak diantara kepentingan politis aparatur pemerintah. Kondisi ini sangat menyulitkan BAZ untuk secara lincah memanfaatkan peluang. Mekanisme penyesuaian struktur dan SDM di LAZ dapat dilakukan kapan saja menyesuaikan kesempatan atau hambatan yang muncul. Hal tersebut tidak dapat dilakukan oleh BAZ sebagai ‘organ’ pemerintah.
Kebijakan operasional LAZ ditentukan oleh sedikit orang menurut kewenangan yang sudah ditentukan, sehingga dapat cepat dilakukan. Struktur LAZ ditentukan utamanya berdasarkan kebutuhan organisasi, BAZ masih harus mengakomodasi kepentingan politis diluar organisasinya. Struktur LAZ lebih ramping, struktur BAZ lebih gemuk dan seringkali lebih kepada kebutuhan prestise.
Kedua, LAZ tidak dapat bergantung pada siapapun kecuali dirinya. Ini memaksa pengelola LAZ untuk tampil lebih agresif dalam menjamin keberlangsungan organisasi dan program-programnya. Pada gilirannya, ini mendorong pengelola menjadi lebih kreatif, adaptif menyesuaikan diri dengan kebutuhan donatur, dan mengembangkan pola komunikasi yang lebih kreatif.
Pengelola LAZ juga harus ‘bersaing’ dengan lembaga sejenis, yang sama agresif dan kreatif. Meski kemudian terlihat perbedaan fokus program, secara keseluruhan, perbaikan yang signifikan pada tawaran layanan, baik bagi dhuafa maupun muzakki.
Sementara itu, secara keseluruhan BAZ melihat pegawai negeri sebagai captive market-nya. Dengan dukungan instruksi vertikal kepala daerah, BAZ lebih fokus pada ‘segmen’nya dengan tingkat kritis yang lebih tidak ketara. Ditambah dengan dukungan anggaran dan fasilitas lainnya seperti PNS yang ditugaskan sebagai pengelola, BAZ tidak menghadapi tekanan nyata seperti LAZ.
Ketiga adalah kepercayaan publik. BAZ berangkat dari posisi yang lebih sulit dibandingkan LAZ. Pengelolaan sebelum UU 38 dilahirkan, tidak segera dapat dihapus dari benak donatur secara keseluruhan. Ketika informasi telah sangat baik, edukasi juga sama baiknya, kesadaran yang timbul berhadapan dengan citra masa lalu. Meskipun telah memperbaiki kinerja, label pemerintah pada BAZ tetap menimbulkan tantangan tersendiri.

Celah Besar
Proses tumbuhnya LAZ yang begitu cepat, menyisakan sebuah celah besar dalam gambar pengelolaan zakat yang lebih luas. Berupaya menjadi lebih baik untuk menarik dukungan telah menjadikan LAZ berhasil tampil menarik dan atraktif, namun tertatih-tatih dalam sinergi dengan lembaga sejenis. Meskipun tidak diakui, dapat dirasakan bahwa tolok ukur keberhasilan masih ada pada kinerja pengumpulan dana.
Dalam teknis yang berbeda, LAZ mengembangkan program yang sama. Pendidikan, santunan sosial dan ekonomi. Keseluruhan program tersebut dikemas dan dikomunikasikan ulang kepada muzakki dan calon muzakki. Tanpa komunikasi yang terjalin, satu dari dua kondisi berikut mudah ditemukan atau diamati. Pertama, satu calon muzakki menerima tawaran dari dua atau lebih LAZ, atau yang kedua satu wilayah mendapatkan perhatian lebih, wilayah yang lain tidak mendapatkan perhatian yang memadai.
‘Perang Iklan/spanduk’ adalah salah satu indikasi yang mudah dilihat, karena lebih sering menampilkan program masing-masing dan amat jarang menampilkan gagasan sinergi antar lembaga. Meski tidak banyak, saling ‘menampilkan kelemahan lembaga lain’ juga sudah dilaporkan oleh calon muzakki. Dengan pencapaian yang demikian besar, hampir tidak ditemukan koordinasi untuk distribusi, baik dari sebaran program maupun wilayah.
Namun kelemahan ini tidak semata hanya pada pengelola LAZ. Dalam contoh yang lain, ‘persaingan’ antara BAZ dan LAZ terjadi dalam tingkatan yang lebih keras. Artinya, apabila dibiarkan secara alami, akan sulit dijumpai dua lembaga pengelola zakat yang mampu membangun komunikasi dan kerjasama pada lingkup yang lebih luas dan mendasar dari apa yang ditunjukkan pada penanganan bencana alam.
Dalam porsi tertentu, sinergi antar lembaga zakat masih belum dianggap sebagai hal yang urgent. Beberapa upaya komunikasi terus dilakukan. Di Batam, beberapa LAZ telah secara aktif bertukar data, terutama menghadapi momen tahun ajaran baru, Idul Fitri dan Qurban. Namun fokusnya masih mencegah penumpukan bantuan pada orang yang sama. Komunikasi itu belum tumbuh pada kerangka kesadaran harus adanya perencanaan kegiatan dan strategi.

Potensi Terbengkalai
Bila sinergi adalah sebuah keharusan, sesungguhnya tersedia alat bantu yang mampu mendorong terwujudnya sinergi lembaga zakat. Alat bantu itu adalah birokrasi kepemerintahan. UU 38 telah mensyaratkan hadirnya ‘pengaturan’ oleh kepala daerah, namun kewenangan tersebut tidak dimanfaatkan secara optimal.
Dihampir semua daerah, kepala daerah menempatkan BAZ sama persis seperti LAZ, mendorong BAZ untuk ‘bersaing’ dengan LAZ dan melupakan perbedaan latar belakang yang sangat tajam yang telah coba diutarakan diatas. Tanpa melanggar UU, kepala daerah bisa menempatkan BAZ bersama dengan organ lainnya (perencanaan pembangunan, pengawasan anggaran) untuk tampil mengisi celah yang masih terbuka.
Kekuatan BAZ adalah dukungan struktural dan akses terhadap organ pengawasan daerah, kekuatan LAZ adalah fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi. Kelemahan BAZ adalah lingkungan birokratif pemerintahan, kelemahan LAZ adalah kesulitan bersinergi. Bila kesemuanya diletakkan diatas meja, mencoba melihat secara jernih, maka terbuka beberapa peluang.
Tahun 2008, diantara sesi pelatihan zakat di Jakarta, pendekatan yang lain coba dibahas dengan utusan BAZ Propinsi dari Sulawesi. Ide yang dibahas adalah: pertama, BAZ tidak didorong menjadi seperti LAZ diwilayah operator sebab BAZ akan sangat kesulitan mengejar ketinggalan. BAZ didorong sebagai supervisor. Kedua, menjadikan BAZ sebagi informal leader didaerah.
BAZ dapat mengajak seluruh LAZ untuk menjalankan program yang dibiayai BAZ, menurut kompetensinya masing-masing. Biaya program dapat berasal dari anggaran pemerintah maupun dana yang dikumpulkan BAZ. Kepala Daerah akan mengaudit program yang dibiayai dengan bantuan sebuah akuntan public. LAZ juga didorong untuk mempublikasikan kinerja program tersebut melalui media massa lokal. Pemerintah melalui anggaran BAZ membiayai audit akuntan publik dan publikasi. Kepala Daerah menggunakan kewenangan yang diberikan UU untuk memastikan seluruh lembaga ikut serta.
Dalam ‘keterpaksaan’ BAZ dan LAZ, akan mulai menghancurkan sekat. Publikasi kegiatan dan hasil audit akuntan publik akan mendorong BAZ dan LAZ menyempurnakan administrasi kegiatannya. Publikasi akan memperbaiki posisi akuntabilitas BAZ dan LAZ, pengelola zakat daerah, secara keseluruhan. Selain itu, BAZ dapat memerankan fungsi informal leader dengan terus menerus mengambil inisatif. Kinerja program tentu saja menjadi kinerja BAZ selaku pemilik program dan penyandang dana.
Tentu akan ada keterkejutan, keengganan dan kesulitan teknis lainnya. Akan ada banyak hal yang perlu dirumuskan. Kuncinya ada diperubahan mendasar cara pandang tentang posisi dan peran BAZ. Pendekatan ini memungkinan terjadinya peningkatan akuntabilitas seluruh lembaga pengelola dan pada saat bersamaan, memicu sinergi yang menjadi kunci peningkatan manfaat pengelolaan secara luas. Pemanfaatan potensi disemua lini ini pada akhirnya mendorong tumbuhnya kepercayaan kepada pengelola zakat.

Tantangan
Pertanyaan mendasar adalah bagaimana memulainya. Tentu saja, perubahan tersebut harus dimulai dari merubah cara pandang terhadap posisi dan peran BAZ. Masih diperlukan waktu sebelum Pemerintah menjadi pengelola tunggal zakat di Indonesia, seperti halnya Malaysia, atau Singapura untuk waqaf. Artinya diantara pengelola zakat (BAZ dan LAZ) masih akan terjadi dinamika yang serupa, dalam bentuk yang berbeda.
UU no 23 2011 sebagai hasil amandemen UU 38 1999 akan merubah wajah pengelolaan zakat di Indonesia. Bila Judicial Review yang sedang dipersiapkan tidak sampai mengubah UU 23 2011 secara mendasar, maka tantangan yang dihadapi akan jauh lebih besar, karena perubahan peran dan fungsi pengelola zakat secara mendasar.
Apapun perubahan yang dibawa oleh hadirnya UU no 23 2011 tidak boleh sampai mengorbankan kepentingan dhuafa/ mustahiq sebagai tujuan utama pengelolaan zakat. Komunikasi, sinergi baik antara BAZ dan LAZ maupun diantara LAZ harus terjadi, karena merupakan syarat mutlak perbaikan kinerja pengelolaan zakat secara umum.

Sumber : dsniamanah.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...