Rabu, 07 November 2012

Menyambut UU Zakat Baru (1)

Setelah bertahun-tahun, akhirnya amandemen UU no 38 1999 tentang pengelolaan zakat selesai. Akhir tahun 2011 lalu, DPR RI mensahkan UU hasil amandemen yang kemudian diberi nomor UU nomor 23 tahun 2011. Sebuah anti klimaks perjuangan panjang dan melelahkan bagi para penggiat zakat.
Proses amandemen tersebut sejatinya dimulai lebih dari 2 tahun lalu. Ketidak setujuan atas UU no 38 yang memberikan masyarakat kesempatan yang sama besar dalam mengelola dana zakat bahkan telah disuarakan secara terpola sejak 2005-2006. Inti pesannya adalah : terdapat bukti-bukti yang kian menguat bahwa masyarakat telah gagal dalam mengelola zakat, dan seharusnya urusan ini dikembalikan kepada Pemerintah. Pertumbuhan fantastis dana yang berhasil dikumpulkan oleh masyarakat tidak diiringi dengan penurunan angka kemiskinan secara signifikan.
Amandemen sendiri sejatinya mencerminkan pergumulan kepentingan. Pemerintah berkepentingan terhadap pemusatan pengelolaan zakat, DPR RI berupaya mengakomodasi kepentingan golongan/ormas yang menjadi konstituennya dan masyarakat berkepentingan menjaga  prestasi dan prestise dari pengambil alihan paksa setengah hati. Keseluruhan elemen menggunakan argumen dasar yang sama : kepentingan mustahiq / fakir miskin.
Pemerintah berkepentingan mengembalikan sesuatu yang asalnya memang diranah pemerintah. Sejatinya, zakat memang ranah pemerintah. Namun di Indonesia telah terjadi ‘kecelakaan sejarah’, dan itu berlaku hingga sekarang. Hanya di Indonesia, zakat dikelola oleh dua unsur : pemerintah dan masyarakat, secara sejajar.
Masyarakat, dalam hal ini LAZ, melihat dari sisi yang berbeda : keberlangsungan program yang terkait erat dengan akuntabilitas, kapasitas, kapabilitas serta kompetensi pengelolaan. Masyarakat memandang diperlukan lebih dari sekedar peraturan berikut ancaman hukumannya untuk mengelola kegiatan yang sudah sangat besar dan menyentuh begitu banyak aspek kehidupan mustahiq/fakir miskin.
DPR yang merupakan representasi politik kelompok masyarakat juga memasukkan kepentingan golongan / kelompok dalam pertimbangannya, baik untuk kepentingan nyata mustahiq/fakir miskin, maupun posisi tawar dalam kancah politik nasional.
Dinamika pengelolaan zakat di Indonesia berkenaan dengan UU no 23 2011 hasil amandemen UU 38 1999 akan coba dipaparkan dalam beberapa tulisan. Edisi ini mencoba menjelaskan terlebih dahulu latar sejarah pengelolaan zakat di Indonesia sebagai dasar untukmendapatkan gambaran yang lebih lengkap bagaimana UU 23 2011 lahir, semangat yang menyelimutinya dan pengaruhnya pada pengelolaan zakat dimasa depan.

Habibie dan UU 38 1999
Sedari awal disadari oleh legislator DPR RI di periode Presiden Habibie bahwa mereka memiliki satu kesempatan emas untuk menumbuhkan dan mengatur masyarakat memanfaatkan sumberdaya mereka sendiri untuk tujuan-tujuan sosial menurut Islam. Ini karena Habibie sesungguhnya hanyalah periode transisi.
Mereka lalu mendesak Habibie agar mendukung terbitnya satu undang-undang yang mengkomodir gerakan baru dalam pengelolaan zakat-infaq-Shadaqah. Di Surabaya misalnya telah muncul Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF), sementara di Jakarta telah juga menggeliat Dompet Dhuafa Republika. Keduanya hanyalah sebagian sanggat kecil organisasi sosial Islam namun dengan tubuh yang sangat baru : manajemen professional.
Keduanya memunculkan harapan baru atas revitalisasi pengelolaan zakat yang masih belum berhasil diperlihatkan oleh BAZIS. Asumsinya, semakin baik pengelolaan, semakin terbuka kesempatan dhuafa mengakses dana sosial Islam karena pulihnya kepercayaan muzakki/donatur.
Maka sebuah draft UU digesa untuk dibahas dan disetujui sebelum akhir periode transisi. Draft tersebut setidaknya memuat dua semangat. Pertama adalah akomodasi.  Kedua organisasi tersebut, mewakili segelintir yang belum muncul kepermukaan, diprediksi akan menjadi gelombang perubahan. Gelombang tersebut memperkuat posisi pengelolaan oleh masyarakat dan ‘melampaui’ BAZIS serta menjadi institusi pengelola dana sosial Islam yang, secara keseluruhan dapat dalam jumlah yang luar biasa besar. Potensi ini kemudian diakomodasi dengan member landasan hukum agar masyarakat dapat secara legal mengelola zakat melalui Lembaga Amil Zakat (LAZ). BAZIS sendiri dirubah menjadi Badan Amil Zakat (BAZ).
Semangat kedua adalah akuntabilitas. Legislator menekankan dengan kuat unsur akuntabilitas melalui serangkaian persyaratan pembentukan organisasi pengelola zakat. Badan hukum yang sah, manajemen data muzakki dan mustahiq, independensi serta audit akuntan publik adalah persyaratan minimal. Hal lain adalah ancaman pidana bagi pengelola untuk pelanggaran azas akuntabilitas.

Ambigu UU No 38 1999
Maka, ketika draft UU tersebut disahkan, ada dua hal besar yang kemudian sangat mempengaruhi sejarah Indonesia dalam mengelola dana sosial Islam, utamanya zakat. Pertama, adalah pencabutan ekslusivitas Pemerintah dalam mengelola zakat. Pengelolaan zakat yang memang adalah hak dan kewajiban mutlak Umara (pemerintah), kemudian diserahkan sebagian kepada masyarakat. BAZ yang mewakili pemerintah dan LAZ yang mewakili masyarakat berada pada posisi SAMA dan SEJAJAR dalam hukum.
Pencabutan hak itu tidak disempurnakan dengan pengaturan peran dan fungsi BAZ & LAZ dalam kaitan koordinasi dan pengawasan. Pengawasan diserahkan kepada Kepala Daerah melalui mekanisme tertentu. Mekanisme yang kemudian terbukti tidak berjalan menyisakan lubang pengawasan karena baik Pemerintah maupun Masyarakat (BAZ & LAZ) sama-sama berada pada wilayah operator (pengelola), ‘bersaing’ dalam merebut hati muzakki melalui program-programnya. Beberapa daerah kemudian melakukan interprestasi dan ‘memaksakan’ BAZ/Depag sebagai pengawas bahkan pengatur.
Pilihan tersebut meski jelas bertentangan dengan UU, namun adalah sesuatu yang dapat dipahami. Ketiadaan pengatur tidak saja memunculkan resiko ketidak tepatan pengumpulan dan penyaluran, namun juga sangat mengurangi peluang sinergi diantara pengelola zakat (BAZ & LAZ). Secara umum, keduanya memiliki dampak negatif terhadap pemulihan kepercayaan muzakki secara keseluruhan.
Upaya tersebut dilakukan pemerintah daerah dengan pendekatan yang berbeda, dan sangat bergantung kepada individu BAZ / Depag.  Pada periode 2004 – 2006 an, BAZ Batam mengambil inisiatif dengan mengajak LAZ membentuk Forum Pengelola Zakat Batam (FPZ-B) yang terlibat aktif di Tsunami Aceh dan Gempa Yogya. Dalam kasus ini, pemerintah melalui BAZ menempatkan dirinya sebagai ‘informal leader’untuk mengisi celah pada UU38 tersebut. BAZ Kepri juga mengambil pendekatan yang sama, yang meski belum terlihat hasilnya, secara umum diterima, juga secara informal. Sementara itu, beberapa daerah lain, seperti pemerintah disebuah kota di Kalimantan melalui BAZ/Depag-nya, mengambil pilihan konfrontatif.
Pergumulan yang terus berlanjut hingga sekarang, kemudian menjadi salah satu faktor pendorong utama amandemen UU38. Meski demikian, hal tersebut tidak sampai menyeruak kepermukaan dan menjadi perhatian masyarakat karena pada saat yang bersamaan, perubahan besar lainnya juga sedang terjadi.
Hal besar kedua adalah tumbuhnya LAZ, baik dalam jumlah maupun cakupan kinerja. Hadirnya UU tersebut mendorong formalisasi pengelolaan dana sosial Islam oleh kelompok masyarakat. Dompet Dhuafa Republika bahkan membentuk Institut Manajemen Zakat (IMZ) untuk mempercepat tranformasi tersebut. IMZ kemudian menjadi ‘sekolah rujukan’ untuk belajar mengelola organisasi pengelola zakat (LAZ & BAZ).
Dalam kecepatan yang mengagumkan, LAZ mendorong perubahan wajah pengelola zakat-infaq-shadaqah, tidak saja dari sisi manajemen, namun juga model interaksi dengan masyarakat, melalui fungsi Fundraising maupun program layanan. Dalam kurun kurang dari 10 tahun, pengelelolaan zakat di Indonesia telah menghasilkan pendidikan formal gratis (SD – Perguruan Tinggi), Layanan Kesehatan gratis, Rumah Sakit gratis, distribusi gizi (daging) dan insentif ekonomi peternakan rakyat ke pelosok menggunakan momentum Idul Qurban, sentra-sentra ekonomi mikro di daerah. Melalui sinergi dengan LAZ lokal didaerah, LAZ skala nasional mendorong dengan cepat perubahan pengelolaan zakat didaerah, melalui pembinaan standar kompetensi.
Capaian akuntabilitas juga tidak kalah baik. Hanya dalam waktu kurang dari 7 tahun, sebuah LAZ lokal di Kota Batam menjadi organisasi pengelola zakat pertama di Indonesia yang memperoleh sertifikasi ISO 9001 tentang manajemen mutu, diikuti oleh BAZNAS di Jakarta dua tahun kemudian. Audit oleh akuntan publik, penggunaan media masa, majalah internal dan website untuk laporan keuangan tahunan telah menjadi standar yang berlaku umum. Meskipun ISO 9001 & audit keuangan tidak berhubungan langsung peningkatan kinerja LAZ, namun sangat membantu memulihkan kepercayaan penyaluran zakat melalui lembaga.
LAZ juga berhasil mendapat pengakuan melalui kerjasama dengan BUMN dan perusahaan publik dalam pengelolaan dana CSR untuk program-program berjangka menengah dan panjang. Program jenis ini menuntut kehandalan perencanaan, pengelolaan kegiatan dan keuangan serta evaluasi berkelanjutan. LAZ pada akhirnya bertansformasi menjadi lembaga pengelola keuangan & program.
LAZ juga mendorong pengelola zakat di Indonesia untuk merubah cara memandang posisi Amil – Muzakki. LAZ meninggalkan pola komunikasi tradisional yang mengedepankan ancaman dosa/siksa neraka/pahala dan aturan/UU/Perda dalam merebut kepercayaan muzakki. LAZ mengembangkan manajemen komunikasi yang menekankan manfaat lebih menyalurkan ZIS melalui program-program mereka, mengakomodasi kebutuhan muzakki dalam program distribusi dan menyediakan layanan yang sangat memudahkan muzakki, serta tentu saja paparan capaian akuntabilitas mereka. Dari sisi standar layanan, pelayanan terhadap pembayar zakat telah serupa dengan pelayanan perusahaan publik terhadap pelanggan mereka.
Celah besar pada UU38 untuk sementara tertutupi oleh keberhasilan pengelolaan zakat secara umum di Indonesia. Masyarakat dalam laju yang menggembirakan, telah memulihkan kepercayaan penyaluran zakat melalui lembaga / organisasi.  Secara bersamaan, pengelola zakat terus menerus mencoba memperbaiki kekurangan UU38, dan mulai mengerucut kepada amandemen UU tersebut.
Secara terpisah, Forum Zakat (FoZ), Kemenag RI dan IMZ  menyusun draft amandemen UU. Ketika proses legislasi telah bergulir, DPR RI juga menyusun draftnya sendiri. Dari sisi pandang pengelolaan zakat versi Indonesia, proses amandemen tersebut menampilkan dinamika yang sangat menarik tentang pergumulan kepentingan, yang sayangnya masih pada hal-hal yang kosmetik, belum pada hal yang fundamental. UU 38 1999 lahir dari proses politik, maka amandemen juga adalah proses politik, dan politik tidak selalunya bersandar pada realita.

Perda Zakat
Ambigu pengaturan juga dapat diamati pada peraturan daerah tentang zakat yang dikeluarkan oleh DPRD di beberapa daerah. Meski dilatari semangat memperbaiki pengelolaan didaerah, perda-perda tersebut masih belum dapat melepaskan diri dari jebakan ambigu : fokus pada pengaturan BAZ, pola hubungan BAZ – LAZ, atau ketidak berhasilan mendorong munculnya bagian pengawasan dan pengaturan. Yang disebut terakhir tentu saja disebabkan oleh UU 38 1999 yang juga dalam posisi yang sama.
Dalam setidaknya dua Perda, termasuk Batam, muatan pengaturan BAZ menominasi pasal-pasal didalamnya, sehingga nyaris dapat disebut sebagai Perda BAZ. Perda-perda tersebut belum atau tidak memberikan ruang bagi pendekatan berbeda yang dapat meningkatkan kinerja pengelolaan zakat secara umum didaerah. BAZ didorong sebagai operator, tidak dikondisikan sebagai informal leader. BAZ bekerja dengan pendekatan LAZ, meninggalkan potensi-potensi  besar yang tidak dimiliki LAZ, terbengkalai begitu saja.
Terlepas dari hal-hal yang harus disempurnakan, kelahiran UU38 telah mendorong ‘revolusi’ pengelolaan zakat di Indonesia. Perlahan, sebagian dhuafa, fakir miskin mendapat manfaat pengelolaan, sebagian untuk jangka pendek, sebagian akan merasakannya kemudian
Maka, amandemen UU 38 seharusnya untuk memperbaiki kelemahan fundamental yang tidak dapat diselesaikan oleh legislator sebelumnya. Namun setidaknya untuk saat ini, mayoritas penggiat zakat merasakan amandemen tersebut justru tidak pada hal-hal fundmental yang seharusnya diperkuat, kecuali upaya menempatkan kembali pemerintah sebagai pengelola tunggal zakat di Indonesia.
Sebuah ironi dari sesuatu yang benar.

Sumber : http://www.dsniamanah.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...