Setelah bertahun-tahun, akhirnya
amandemen UU no 38 1999 tentang pengelolaan zakat selesai. Akhir tahun
2011 lalu, DPR RI mensahkan UU hasil amandemen yang kemudian diberi
nomor UU nomor 23 tahun 2011. Sebuah anti klimaks perjuangan panjang dan
melelahkan bagi para penggiat zakat.
Proses amandemen tersebut sejatinya
dimulai lebih dari 2 tahun lalu. Ketidak setujuan atas UU no 38 yang
memberikan masyarakat kesempatan yang sama besar dalam mengelola dana
zakat bahkan telah disuarakan secara terpola sejak 2005-2006. Inti
pesannya adalah : terdapat bukti-bukti yang kian menguat bahwa
masyarakat telah gagal dalam mengelola zakat, dan seharusnya urusan ini
dikembalikan kepada Pemerintah. Pertumbuhan fantastis dana yang berhasil
dikumpulkan oleh masyarakat tidak diiringi dengan penurunan angka
kemiskinan secara signifikan.
Amandemen sendiri sejatinya mencerminkan
pergumulan kepentingan. Pemerintah berkepentingan terhadap pemusatan
pengelolaan zakat, DPR RI berupaya mengakomodasi kepentingan
golongan/ormas yang menjadi konstituennya dan masyarakat berkepentingan
menjaga prestasi dan prestise dari pengambil alihan paksa setengah
hati. Keseluruhan elemen menggunakan argumen dasar yang sama :
kepentingan mustahiq / fakir miskin.
Pemerintah berkepentingan mengembalikan
sesuatu yang asalnya memang diranah pemerintah. Sejatinya, zakat memang
ranah pemerintah. Namun di Indonesia telah terjadi ‘kecelakaan sejarah’,
dan itu berlaku hingga sekarang. Hanya di Indonesia, zakat dikelola
oleh dua unsur : pemerintah dan masyarakat, secara sejajar.
Masyarakat, dalam hal ini LAZ, melihat
dari sisi yang berbeda : keberlangsungan program yang terkait erat
dengan akuntabilitas, kapasitas, kapabilitas serta kompetensi
pengelolaan. Masyarakat memandang diperlukan lebih dari sekedar
peraturan berikut ancaman hukumannya untuk mengelola kegiatan yang sudah
sangat besar dan menyentuh begitu banyak aspek kehidupan mustahiq/fakir
miskin.
DPR yang merupakan representasi politik
kelompok masyarakat juga memasukkan kepentingan golongan / kelompok
dalam pertimbangannya, baik untuk kepentingan nyata mustahiq/fakir
miskin, maupun posisi tawar dalam kancah politik nasional.
Dinamika pengelolaan zakat di Indonesia
berkenaan dengan UU no 23 2011 hasil amandemen UU 38 1999 akan coba
dipaparkan dalam beberapa tulisan. Edisi ini mencoba menjelaskan
terlebih dahulu latar sejarah pengelolaan zakat di Indonesia sebagai
dasar untukmendapatkan gambaran yang lebih lengkap bagaimana UU 23 2011
lahir, semangat yang menyelimutinya dan pengaruhnya pada pengelolaan
zakat dimasa depan.
Habibie dan UU 38 1999
Sedari awal disadari oleh legislator DPR
RI di periode Presiden Habibie bahwa mereka memiliki satu kesempatan
emas untuk menumbuhkan dan mengatur masyarakat memanfaatkan sumberdaya
mereka sendiri untuk tujuan-tujuan sosial menurut Islam. Ini karena
Habibie sesungguhnya hanyalah periode transisi.
Mereka lalu mendesak Habibie agar
mendukung terbitnya satu undang-undang yang mengkomodir gerakan baru
dalam pengelolaan zakat-infaq-Shadaqah. Di Surabaya misalnya telah
muncul Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF), sementara di Jakarta telah
juga menggeliat Dompet Dhuafa Republika. Keduanya hanyalah sebagian
sanggat kecil organisasi sosial Islam namun dengan tubuh yang sangat
baru : manajemen professional.
Keduanya memunculkan harapan baru atas
revitalisasi pengelolaan zakat yang masih belum berhasil diperlihatkan
oleh BAZIS. Asumsinya, semakin baik pengelolaan, semakin terbuka
kesempatan dhuafa mengakses dana sosial Islam karena pulihnya
kepercayaan muzakki/donatur.
Maka sebuah draft UU digesa untuk
dibahas dan disetujui sebelum akhir periode transisi. Draft tersebut
setidaknya memuat dua semangat. Pertama adalah akomodasi. Kedua
organisasi tersebut, mewakili segelintir yang belum muncul kepermukaan,
diprediksi akan menjadi gelombang perubahan. Gelombang tersebut
memperkuat posisi pengelolaan oleh masyarakat dan ‘melampaui’ BAZIS
serta menjadi institusi pengelola dana sosial Islam yang, secara
keseluruhan dapat dalam jumlah yang luar biasa besar. Potensi ini
kemudian diakomodasi dengan member landasan hukum agar masyarakat dapat
secara legal mengelola zakat melalui Lembaga Amil Zakat (LAZ). BAZIS
sendiri dirubah menjadi Badan Amil Zakat (BAZ).
Semangat kedua adalah akuntabilitas.
Legislator menekankan dengan kuat unsur akuntabilitas melalui
serangkaian persyaratan pembentukan organisasi pengelola zakat. Badan
hukum yang sah, manajemen data muzakki dan mustahiq, independensi serta
audit akuntan publik adalah persyaratan minimal. Hal lain adalah ancaman
pidana bagi pengelola untuk pelanggaran azas akuntabilitas.
Ambigu UU No 38 1999
Maka, ketika draft UU tersebut disahkan,
ada dua hal besar yang kemudian sangat mempengaruhi sejarah Indonesia
dalam mengelola dana sosial Islam, utamanya zakat. Pertama, adalah
pencabutan ekslusivitas Pemerintah dalam mengelola zakat. Pengelolaan
zakat yang memang adalah hak dan kewajiban mutlak Umara (pemerintah),
kemudian diserahkan sebagian kepada masyarakat. BAZ yang mewakili
pemerintah dan LAZ yang mewakili masyarakat berada pada posisi SAMA dan
SEJAJAR dalam hukum.
Pencabutan hak itu tidak disempurnakan
dengan pengaturan peran dan fungsi BAZ & LAZ dalam kaitan koordinasi
dan pengawasan. Pengawasan diserahkan kepada Kepala Daerah melalui
mekanisme tertentu. Mekanisme yang kemudian terbukti tidak berjalan
menyisakan lubang pengawasan karena baik Pemerintah maupun Masyarakat
(BAZ & LAZ) sama-sama berada pada wilayah operator (pengelola),
‘bersaing’ dalam merebut hati muzakki melalui program-programnya.
Beberapa daerah kemudian melakukan interprestasi dan ‘memaksakan’
BAZ/Depag sebagai pengawas bahkan pengatur.
Pilihan tersebut meski jelas
bertentangan dengan UU, namun adalah sesuatu yang dapat dipahami.
Ketiadaan pengatur tidak saja memunculkan resiko ketidak tepatan
pengumpulan dan penyaluran, namun juga sangat mengurangi peluang sinergi
diantara pengelola zakat (BAZ & LAZ). Secara umum, keduanya
memiliki dampak negatif terhadap pemulihan kepercayaan muzakki secara
keseluruhan.
Upaya tersebut dilakukan pemerintah
daerah dengan pendekatan yang berbeda, dan sangat bergantung kepada
individu BAZ / Depag. Pada periode 2004 – 2006 an, BAZ Batam mengambil
inisiatif dengan mengajak LAZ membentuk Forum Pengelola Zakat Batam
(FPZ-B) yang terlibat aktif di Tsunami Aceh dan Gempa Yogya. Dalam kasus
ini, pemerintah melalui BAZ menempatkan dirinya sebagai ‘informal leader’untuk
mengisi celah pada UU38 tersebut. BAZ Kepri juga mengambil pendekatan
yang sama, yang meski belum terlihat hasilnya, secara umum diterima,
juga secara informal. Sementara itu, beberapa daerah lain, seperti
pemerintah disebuah kota di Kalimantan melalui BAZ/Depag-nya, mengambil
pilihan konfrontatif.
Pergumulan yang terus berlanjut hingga
sekarang, kemudian menjadi salah satu faktor pendorong utama amandemen
UU38. Meski demikian, hal tersebut tidak sampai menyeruak kepermukaan
dan menjadi perhatian masyarakat karena pada saat yang bersamaan,
perubahan besar lainnya juga sedang terjadi.
Hal besar kedua adalah tumbuhnya LAZ,
baik dalam jumlah maupun cakupan kinerja. Hadirnya UU tersebut mendorong
formalisasi pengelolaan dana sosial Islam oleh kelompok masyarakat.
Dompet Dhuafa Republika bahkan membentuk Institut Manajemen Zakat (IMZ)
untuk mempercepat tranformasi tersebut. IMZ kemudian menjadi ‘sekolah
rujukan’ untuk belajar mengelola organisasi pengelola zakat (LAZ &
BAZ).
Dalam kecepatan yang mengagumkan, LAZ
mendorong perubahan wajah pengelola zakat-infaq-shadaqah, tidak saja
dari sisi manajemen, namun juga model interaksi dengan masyarakat,
melalui fungsi Fundraising maupun program layanan. Dalam kurun kurang
dari 10 tahun, pengelelolaan zakat di Indonesia telah menghasilkan
pendidikan formal gratis (SD – Perguruan Tinggi), Layanan Kesehatan
gratis, Rumah Sakit gratis, distribusi gizi (daging) dan insentif
ekonomi peternakan rakyat ke pelosok menggunakan momentum Idul Qurban,
sentra-sentra ekonomi mikro di daerah. Melalui sinergi dengan LAZ lokal
didaerah, LAZ skala nasional mendorong dengan cepat perubahan
pengelolaan zakat didaerah, melalui pembinaan standar kompetensi.
Capaian akuntabilitas juga tidak kalah
baik. Hanya dalam waktu kurang dari 7 tahun, sebuah LAZ lokal di Kota
Batam menjadi organisasi pengelola zakat pertama di Indonesia yang
memperoleh sertifikasi ISO 9001 tentang manajemen mutu, diikuti oleh
BAZNAS di Jakarta dua tahun kemudian. Audit oleh akuntan publik,
penggunaan media masa, majalah internal dan website untuk laporan
keuangan tahunan telah menjadi standar yang berlaku umum. Meskipun ISO
9001 & audit keuangan tidak berhubungan langsung peningkatan kinerja
LAZ, namun sangat membantu memulihkan kepercayaan penyaluran zakat
melalui lembaga.
LAZ juga berhasil mendapat pengakuan
melalui kerjasama dengan BUMN dan perusahaan publik dalam pengelolaan
dana CSR untuk program-program berjangka menengah dan panjang. Program
jenis ini menuntut kehandalan perencanaan, pengelolaan kegiatan dan
keuangan serta evaluasi berkelanjutan. LAZ pada akhirnya bertansformasi
menjadi lembaga pengelola keuangan & program.
LAZ juga mendorong pengelola zakat di
Indonesia untuk merubah cara memandang posisi Amil – Muzakki. LAZ
meninggalkan pola komunikasi tradisional yang mengedepankan ancaman
dosa/siksa neraka/pahala dan aturan/UU/Perda dalam merebut kepercayaan
muzakki. LAZ mengembangkan manajemen komunikasi yang menekankan manfaat
lebih menyalurkan ZIS melalui program-program mereka, mengakomodasi
kebutuhan muzakki dalam program distribusi dan menyediakan layanan yang
sangat memudahkan muzakki, serta tentu saja paparan capaian
akuntabilitas mereka. Dari sisi standar layanan, pelayanan terhadap
pembayar zakat telah serupa dengan pelayanan perusahaan publik terhadap
pelanggan mereka.
Celah besar pada UU38 untuk sementara
tertutupi oleh keberhasilan pengelolaan zakat secara umum di Indonesia.
Masyarakat dalam laju yang menggembirakan, telah memulihkan kepercayaan
penyaluran zakat melalui lembaga / organisasi. Secara bersamaan,
pengelola zakat terus menerus mencoba memperbaiki kekurangan UU38, dan
mulai mengerucut kepada amandemen UU tersebut.
Secara terpisah, Forum Zakat (FoZ),
Kemenag RI dan IMZ menyusun draft amandemen UU. Ketika proses legislasi
telah bergulir, DPR RI juga menyusun draftnya sendiri. Dari sisi
pandang pengelolaan zakat versi Indonesia, proses amandemen tersebut
menampilkan dinamika yang sangat menarik tentang pergumulan kepentingan,
yang sayangnya masih pada hal-hal yang kosmetik, belum pada hal yang
fundamental. UU 38 1999 lahir dari proses politik, maka amandemen juga
adalah proses politik, dan politik tidak selalunya bersandar pada
realita.
Perda Zakat
Ambigu pengaturan juga dapat diamati
pada peraturan daerah tentang zakat yang dikeluarkan oleh DPRD di
beberapa daerah. Meski dilatari semangat memperbaiki pengelolaan
didaerah, perda-perda tersebut masih belum dapat melepaskan diri dari
jebakan ambigu : fokus pada pengaturan BAZ, pola hubungan BAZ – LAZ,
atau ketidak berhasilan mendorong munculnya bagian pengawasan dan
pengaturan. Yang disebut terakhir tentu saja disebabkan oleh UU 38 1999
yang juga dalam posisi yang sama.
Dalam setidaknya dua Perda, termasuk
Batam, muatan pengaturan BAZ menominasi pasal-pasal didalamnya, sehingga
nyaris dapat disebut sebagai Perda BAZ. Perda-perda tersebut belum atau
tidak memberikan ruang bagi pendekatan berbeda yang dapat meningkatkan
kinerja pengelolaan zakat secara umum didaerah. BAZ didorong sebagai
operator, tidak dikondisikan sebagai informal leader. BAZ bekerja dengan
pendekatan LAZ, meninggalkan potensi-potensi besar yang tidak dimiliki
LAZ, terbengkalai begitu saja.
Terlepas dari hal-hal yang harus
disempurnakan, kelahiran UU38 telah mendorong ‘revolusi’ pengelolaan
zakat di Indonesia. Perlahan, sebagian dhuafa, fakir miskin mendapat
manfaat pengelolaan, sebagian untuk jangka pendek, sebagian akan
merasakannya kemudian
Maka, amandemen UU 38 seharusnya untuk
memperbaiki kelemahan fundamental yang tidak dapat diselesaikan oleh
legislator sebelumnya. Namun setidaknya untuk saat ini, mayoritas
penggiat zakat merasakan amandemen tersebut justru tidak pada hal-hal
fundmental yang seharusnya diperkuat, kecuali upaya menempatkan kembali
pemerintah sebagai pengelola tunggal zakat di Indonesia.
Sebuah ironi dari sesuatu yang benar.
Sumber : http://www.dsniamanah.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar