Pasal-pasal krusial dalam UU No 23 2011 tentang Pengelolaan Zakat
Pasal 5 ayat (1). Untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS.
Pasal 7 ayat (1). Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, BAZNAS menyelenggarakan fungsi: (a) perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; (b) pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian,dan pendayagunaan zakat; (c) pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan (d) pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.
Pasal 17. Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.
Pasal 38. Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang.
Pasal 41. Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pengantar
Pada tulisan sebelumnya, telah dijelaskan bagaimana BAZ & LAZ menyikapi peluang yang muncul dari kelahiran UU 38 1999, bagaimana capaian yang berhasil ditorehkan oleh BAZ dan Z dan LAZ. Tulisan tersebut melengkapi tulisan pertama yang menjelaskan ‘revolusi zakat’ di Indonesia sebagai manfaat UU 38 1999 selama 10 tahun terakhir.
Selain itu, juga dijelaskan perbedaan sangat kinerja BAZ dan LAZ. Meskipun Kepri, Jakarta dan Sul-Sel sebagai contoh menampilkan sosok yang berbeda, secara umum BAZ Propinsi/Kabupaten/Kota masih harus bergulat melepaskan diri dari hambatan internal dan tertinggal jauh dibanding LAZ. Hambatan itu lebih pada cara pandang tentang posisi dan peran yang seharusnya dimainkan oleh BAZ.
Tulisan ini dan tulisan berikutnya mencoba melihat UU 23 2011 berdasarkan latar sejarah pengelolaan zakat di Indonesia. Ini menjadi penting agar pengelolaan zakat secara keseluruhan tidak mundur kembali kebelakang. Khas untuk Indonesia, pengelolaan zakat adalah masalah kepercayaan kepada pengelola, bukan urusan kepatuhan kepada umaro/khalifah seperti dalam sejarah awal Islam.
Pengelola
Kutipan diatas, adalah sebagian dari pasal-pasal dalam UU 23 2011 hasil amandemen UU 38 1999 yang menjadi titik sentral ‘pergulatan’ antara LAZ dengan pemerintah (Kemenag) selama proses amandemen UU 38 1999 sepanjang tahun 2009 – 2011.
UU 23 2011 menempatkan pemerintah melalui BAZNAS (Nasional, Propinsi dan Kabupaten/Kota) sebagai pengelola tunggal zakat di Indonesia dengan fungsi perencanaan-pengendalian-pelaporan pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat. Sementara itu, LAZ diposisikan sebagai ‘pembantu’ BAZNAS.
Wacana pengelolaan tunggal zakat oleh Negara adalah hal yang menggembirakan. Tidak saja ini merujuk kepada banyak Nash dan Hadist yang menjelaskan zakat adalah domain pemerintah, namun juga karena pada akhirnya pengelola zakat memiliki sumber-sumber daya yang lengkap untuk memastikan pengelolaan zakat mencapai tujuannya.
Tata kelola LAZ yang terbukti lebih baik dibanding BAZ, masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. LAZ tidak memiliki akses terhadap tata ruang dan menjadi tak berdaya menghadapi penggusuran usaha dhuafa yang dibiayainya. LAZ tidak memiliki akses pada anggaran sosial dan kesehatan, sehingga seringkali hanya membantu ala kadarnya.
LAZ harus mengeluarkan begitu banyak energy untuk meyakinkan muzakki tentang akuntabilitas program, mengalokasikan sumberdaya berharga untuk ambulance, mobil jenazah dan bis pelajar. Juga mengalokasikan dana besar untuk biaya sekolah dhuafa di institusi swasta, biaya masuk sekolah, buku paket dan seragam sekolah.
Hal-hal tersebut dan banyak hal lainnya sesungguhnya adalah sumberdaya yang tersedia di Negara. Maka bila pengelolaan zakat berada di Negara, pemerintah dapat menggunakan wewenangnya untuk alokasi sumberdaya diatas, sehingga zakat yang masih belum seberapa dapat fokus pada sisi-sisi yang lebih mendasar dan strategis.
Pemerintah memiliki organ perencanaan hingga audit keuangan yang dapat dilibatkan sehingga perencanaan dan pengendalian lebih baik dan utuh. Pengelolaan zakat dibawah ‘satu pintu’ akan membuka peluang zakat dikelola sebagai sesuatu yang integral, utuh dan dengan sumberdaya yang menyeluruh.
Partisipasi Masyarakat
Rumusan akhir pasal-pasal UU hasil amandemen yang menyentakkan pengelola LAZ memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat. Partisipasi tersebut diatur agar ‘tidak dapat bersebarangan’ dengan tujuan pengelolaan tunggal. Penyusun draft memahami bahwa ‘peluang yang sama besar’ seperti pada UU 38 1999 menimbulkan kesulitan bagi proses ‘pengendalian’.
Masyarakat melalui LAZ ditempatkan sebagai supporting dari keseluruhan proses. UU mengatur dengan rinci pembentukan dan pengelolaan BAZNAS disemua tingkatan, sementara pembentukan LAZ diatur dalam satu pasal, berlaku umum dengan tidak menyebutkan adanya tingkatan.
Partisipasi dalam bentuk pengelolaan harus memenuhi serangkaian prosedur yang secara teknis memastikan hadirnya akuntabilitas. Implikasinya, meski dimungkinkan, akan ada ‘seleksi’ untuk memperoleh izin mendirikan LAZ. LAZ juga berhubungan dengan BAZNAS dalam hampir seluruh aspek operasional, utamanya pembentukan dan pelaporan.
UU juga menegaskan manfaat partisipasi masyarakat. Seluruh zakat yang dibayarkan kepada akan mengurangi penghasilan kena pajak, berdasarkan resi yang diterima dari BAZNAS atau LAZ.
Implikasi Teknis
Perubahan posisi pengelola berpotensi menimbulkan implikasi teknis yang tidak sederhana. Pasal 41 misalnya, mengancam kurungan 1 tahun dan/atau denda maksimal Rp. 50jt bagi setiap individu yang menjalankan fungsi amil tanpa izin. Artinya seseorang yang mengelola panti, menerima zakat dari donaturnya dan membelanjakan untuk kebutuhan yatim piatu dipantinya, terkena ancaman pasal ini. Dalam contoh diatas, pengelola dapat saja mendirikan LAZ, tetapi upaya yang dibutuhkan akan menguras sumberdaya panti yang sudah sangat terbatas.
Untuk itu misalnya, secara ideal panti harus memiliki sumber mandiri. Ketika mencoba mengalokasikan dana untuk kegiatan produktif (ekonomi) seperti warung/toko/usaha mikro, LAZ yang membantu akan dihadapkan pada Pasal 27 ayat 2 yang mengatur bahwa distribusi untuk tujuan produktif hanya dapat dilakukan setelah kebutuhan dasar lainnya terpenuhi
Pengaturan ini memastikan keteraturan dan akuntabilitas, namun memberi ruang sangat sempit bagi kegiatan karitatif tradisional yang masih sangat diperlukan ketika layanan sosial & pendidikan masih belum dapat dipenuhi pemerintah.
Hal tersebut juga mendorong pengelola LAZ untuk melestarikan kemiskinan dan ketidak berdayaan dhuafa dengan hanya menjadi penyedia layanan karitatif. Perubahan mustahiq menjadi muzakki yang hanya dapat ditopang oleh perbaikan taraf ekonomi, diserahkan kepada kebijakan ‘mekanisme pasar’ pemerintah yang nyata-nyata belum berpihak kepada kepentingan dhuafa.
Pasal-pasal seperti pasal 17 dan 38 seperti dijelaskan diatas adalah pasal multi tafsir dan sangat berpotensi dimanfaatkan untuk tujuan yang tidak berhubungan langsung dengan manfaat pengelolaan zakat. DSNI telah menerima informasi/pertanyaan dari muzakkinya tentang posisi DSNI terhadap BAZ Kota Batam dalam pengelolaan zakat.
Muzakki tersebut mendapat penjelasan dari petugas BAZ bahwa UU yang baru akan menempatkan LAZ sebagai unit pengumpul yang operasionalnya akan dikendalikan oleh BAZ. Maka, lebih baik baginya untuk menyalurkan zakat langsung ke BAZ karena pada akhirnya zakat yang diserahkan ke LAZ akan tetap disalurkan melalui BAZ.
Masalah Mendasar
Informasi seperti diatas yang terus mengalir, sesungguhnya mencerminkan masalah paling mendasar dalam pengelolaan zakat di Indonesia. Masalah itu adalah anggapan prestasi hanya ditentukan oleh nominal pengumpulan.
Di Batam, bagi pengelola LAZ, kepindahan muzakki dari satu LAZ ke LAZ lain diterima sebagai sebuah hal yang wajar. Kepindahan tersebut lebih disebabkan tawaran program yang lebih pas dengan kebutuhan / minat muzakki. Ini mendorong LAZ untuk terus menerus berkreasi agar mustahiq memperoleh manfaat dari program yang dikemas untuk muzakki. Meskipun bersaing untuk nominal, prestasi diukur dari seberapa besar muzakki merasa puas dengan program yang dikemas. Jumlah akhir pengumpulan akan secara otomatis mengikuti.
Kasus muzakki DSNI diatas menyiratkan bahwa diantara pengelola masih terdapat perbedaan persepsi yang sangat tajam. Bila muzakki DSNI tersebut berpindah ke BAZ, maka DSNI akan memaksa dirinya berbenah dalam komunikasi dan program. Tapi dari sisi pandang pengelolaan zakat yang lebih luas, kepindahan tersebut mencerminkan kondisi yang lebih mengkhawatirkan.
Pertama, minimnya komunikasi dan edukasi. Muzakki masih belum mendapatkan informasi yang benar dan utuh. Ketidak tahuan menyebabkan muzakki tidak dapat menentukan pilihan peran strategisnya dengan tepat. Kedua, pengelolaan zakat masih dipahami sebagai sebatas urusan ‘kekuatan’. Sediakan peraturan, tekankan ‘nahi munkar’, komunikasikan resiko atas ketidak patuhan, maka kesadaran akan timbul. Pendekatan ini diterima atas nama strategi mencapai tujuan.
Perbedaan ini sangat kontra produktif. Muzakki dan masyarakat akan melihat pengelolaan zakat sebagai ‘rebutan lahan’, edukasi dipahami sebagai ‘strategi jualan’. Kepercayaan pada pengelola akan tetap rendah dan zakat akan disalurkan secara langsung untuk tujuan karitatif. Yang paling merasakan dampaknya adalah mustahiq, dhuafa.
Tantangan
Tantangan terberat bagi pengelola zakat sehubungan dengan UU 23 2011 adalah keluar dari zona nyaman. Bila kelak Judicial Review tidak menghasilkan keluaran yang diharapkan, pengelola LAZ harus menyesuaikan diri karena mereka tidak lagi dipanggung utama pengelolaan zakat. BAZNAS Propinsi/Kabupaten/Kota yang kini didorong sebagai pemain utama, harus dengan cepat memperkuat kompetensi dan kapabilitasnya.
Kesadaran itu menimbulkan ruang bagi proses komunikasi produktif diantara pengelola zakat, membuka wilayah-wilayah sinergi baru dan pada gilirannya menumbuhkan kesadaran muzakki karena manfaat pengelolaan yang dihasilkan dan dirasakan mustahiq.
Sekali lagi, untuk beberapa tahun kedepan, pengelolaan zakat di Indonesia masih akan berupa urusan kepercayaan pada pengelola, belum sampai pada kepatuhan terhadap penyelenggara pemerintahan.
Sumber: dsniamanah.or.id
Artikel Terkait:
Pasal 5 ayat (1). Untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS.
Pasal 7 ayat (1). Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, BAZNAS menyelenggarakan fungsi: (a) perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; (b) pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian,dan pendayagunaan zakat; (c) pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan (d) pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.
Pasal 17. Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.
Pasal 38. Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang.
Pasal 41. Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pengantar
Pada tulisan sebelumnya, telah dijelaskan bagaimana BAZ & LAZ menyikapi peluang yang muncul dari kelahiran UU 38 1999, bagaimana capaian yang berhasil ditorehkan oleh BAZ dan Z dan LAZ. Tulisan tersebut melengkapi tulisan pertama yang menjelaskan ‘revolusi zakat’ di Indonesia sebagai manfaat UU 38 1999 selama 10 tahun terakhir.
Selain itu, juga dijelaskan perbedaan sangat kinerja BAZ dan LAZ. Meskipun Kepri, Jakarta dan Sul-Sel sebagai contoh menampilkan sosok yang berbeda, secara umum BAZ Propinsi/Kabupaten/Kota masih harus bergulat melepaskan diri dari hambatan internal dan tertinggal jauh dibanding LAZ. Hambatan itu lebih pada cara pandang tentang posisi dan peran yang seharusnya dimainkan oleh BAZ.
Tulisan ini dan tulisan berikutnya mencoba melihat UU 23 2011 berdasarkan latar sejarah pengelolaan zakat di Indonesia. Ini menjadi penting agar pengelolaan zakat secara keseluruhan tidak mundur kembali kebelakang. Khas untuk Indonesia, pengelolaan zakat adalah masalah kepercayaan kepada pengelola, bukan urusan kepatuhan kepada umaro/khalifah seperti dalam sejarah awal Islam.
Pengelola
Kutipan diatas, adalah sebagian dari pasal-pasal dalam UU 23 2011 hasil amandemen UU 38 1999 yang menjadi titik sentral ‘pergulatan’ antara LAZ dengan pemerintah (Kemenag) selama proses amandemen UU 38 1999 sepanjang tahun 2009 – 2011.
UU 23 2011 menempatkan pemerintah melalui BAZNAS (Nasional, Propinsi dan Kabupaten/Kota) sebagai pengelola tunggal zakat di Indonesia dengan fungsi perencanaan-pengendalian-pelaporan pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat. Sementara itu, LAZ diposisikan sebagai ‘pembantu’ BAZNAS.
Wacana pengelolaan tunggal zakat oleh Negara adalah hal yang menggembirakan. Tidak saja ini merujuk kepada banyak Nash dan Hadist yang menjelaskan zakat adalah domain pemerintah, namun juga karena pada akhirnya pengelola zakat memiliki sumber-sumber daya yang lengkap untuk memastikan pengelolaan zakat mencapai tujuannya.
Tata kelola LAZ yang terbukti lebih baik dibanding BAZ, masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. LAZ tidak memiliki akses terhadap tata ruang dan menjadi tak berdaya menghadapi penggusuran usaha dhuafa yang dibiayainya. LAZ tidak memiliki akses pada anggaran sosial dan kesehatan, sehingga seringkali hanya membantu ala kadarnya.
LAZ harus mengeluarkan begitu banyak energy untuk meyakinkan muzakki tentang akuntabilitas program, mengalokasikan sumberdaya berharga untuk ambulance, mobil jenazah dan bis pelajar. Juga mengalokasikan dana besar untuk biaya sekolah dhuafa di institusi swasta, biaya masuk sekolah, buku paket dan seragam sekolah.
Hal-hal tersebut dan banyak hal lainnya sesungguhnya adalah sumberdaya yang tersedia di Negara. Maka bila pengelolaan zakat berada di Negara, pemerintah dapat menggunakan wewenangnya untuk alokasi sumberdaya diatas, sehingga zakat yang masih belum seberapa dapat fokus pada sisi-sisi yang lebih mendasar dan strategis.
Pemerintah memiliki organ perencanaan hingga audit keuangan yang dapat dilibatkan sehingga perencanaan dan pengendalian lebih baik dan utuh. Pengelolaan zakat dibawah ‘satu pintu’ akan membuka peluang zakat dikelola sebagai sesuatu yang integral, utuh dan dengan sumberdaya yang menyeluruh.
Partisipasi Masyarakat
Rumusan akhir pasal-pasal UU hasil amandemen yang menyentakkan pengelola LAZ memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat. Partisipasi tersebut diatur agar ‘tidak dapat bersebarangan’ dengan tujuan pengelolaan tunggal. Penyusun draft memahami bahwa ‘peluang yang sama besar’ seperti pada UU 38 1999 menimbulkan kesulitan bagi proses ‘pengendalian’.
Masyarakat melalui LAZ ditempatkan sebagai supporting dari keseluruhan proses. UU mengatur dengan rinci pembentukan dan pengelolaan BAZNAS disemua tingkatan, sementara pembentukan LAZ diatur dalam satu pasal, berlaku umum dengan tidak menyebutkan adanya tingkatan.
Partisipasi dalam bentuk pengelolaan harus memenuhi serangkaian prosedur yang secara teknis memastikan hadirnya akuntabilitas. Implikasinya, meski dimungkinkan, akan ada ‘seleksi’ untuk memperoleh izin mendirikan LAZ. LAZ juga berhubungan dengan BAZNAS dalam hampir seluruh aspek operasional, utamanya pembentukan dan pelaporan.
UU juga menegaskan manfaat partisipasi masyarakat. Seluruh zakat yang dibayarkan kepada akan mengurangi penghasilan kena pajak, berdasarkan resi yang diterima dari BAZNAS atau LAZ.
Implikasi Teknis
Perubahan posisi pengelola berpotensi menimbulkan implikasi teknis yang tidak sederhana. Pasal 41 misalnya, mengancam kurungan 1 tahun dan/atau denda maksimal Rp. 50jt bagi setiap individu yang menjalankan fungsi amil tanpa izin. Artinya seseorang yang mengelola panti, menerima zakat dari donaturnya dan membelanjakan untuk kebutuhan yatim piatu dipantinya, terkena ancaman pasal ini. Dalam contoh diatas, pengelola dapat saja mendirikan LAZ, tetapi upaya yang dibutuhkan akan menguras sumberdaya panti yang sudah sangat terbatas.
Untuk itu misalnya, secara ideal panti harus memiliki sumber mandiri. Ketika mencoba mengalokasikan dana untuk kegiatan produktif (ekonomi) seperti warung/toko/usaha mikro, LAZ yang membantu akan dihadapkan pada Pasal 27 ayat 2 yang mengatur bahwa distribusi untuk tujuan produktif hanya dapat dilakukan setelah kebutuhan dasar lainnya terpenuhi
Pengaturan ini memastikan keteraturan dan akuntabilitas, namun memberi ruang sangat sempit bagi kegiatan karitatif tradisional yang masih sangat diperlukan ketika layanan sosial & pendidikan masih belum dapat dipenuhi pemerintah.
Hal tersebut juga mendorong pengelola LAZ untuk melestarikan kemiskinan dan ketidak berdayaan dhuafa dengan hanya menjadi penyedia layanan karitatif. Perubahan mustahiq menjadi muzakki yang hanya dapat ditopang oleh perbaikan taraf ekonomi, diserahkan kepada kebijakan ‘mekanisme pasar’ pemerintah yang nyata-nyata belum berpihak kepada kepentingan dhuafa.
Pasal-pasal seperti pasal 17 dan 38 seperti dijelaskan diatas adalah pasal multi tafsir dan sangat berpotensi dimanfaatkan untuk tujuan yang tidak berhubungan langsung dengan manfaat pengelolaan zakat. DSNI telah menerima informasi/pertanyaan dari muzakkinya tentang posisi DSNI terhadap BAZ Kota Batam dalam pengelolaan zakat.
Muzakki tersebut mendapat penjelasan dari petugas BAZ bahwa UU yang baru akan menempatkan LAZ sebagai unit pengumpul yang operasionalnya akan dikendalikan oleh BAZ. Maka, lebih baik baginya untuk menyalurkan zakat langsung ke BAZ karena pada akhirnya zakat yang diserahkan ke LAZ akan tetap disalurkan melalui BAZ.
Masalah Mendasar
Informasi seperti diatas yang terus mengalir, sesungguhnya mencerminkan masalah paling mendasar dalam pengelolaan zakat di Indonesia. Masalah itu adalah anggapan prestasi hanya ditentukan oleh nominal pengumpulan.
Di Batam, bagi pengelola LAZ, kepindahan muzakki dari satu LAZ ke LAZ lain diterima sebagai sebuah hal yang wajar. Kepindahan tersebut lebih disebabkan tawaran program yang lebih pas dengan kebutuhan / minat muzakki. Ini mendorong LAZ untuk terus menerus berkreasi agar mustahiq memperoleh manfaat dari program yang dikemas untuk muzakki. Meskipun bersaing untuk nominal, prestasi diukur dari seberapa besar muzakki merasa puas dengan program yang dikemas. Jumlah akhir pengumpulan akan secara otomatis mengikuti.
Kasus muzakki DSNI diatas menyiratkan bahwa diantara pengelola masih terdapat perbedaan persepsi yang sangat tajam. Bila muzakki DSNI tersebut berpindah ke BAZ, maka DSNI akan memaksa dirinya berbenah dalam komunikasi dan program. Tapi dari sisi pandang pengelolaan zakat yang lebih luas, kepindahan tersebut mencerminkan kondisi yang lebih mengkhawatirkan.
Pertama, minimnya komunikasi dan edukasi. Muzakki masih belum mendapatkan informasi yang benar dan utuh. Ketidak tahuan menyebabkan muzakki tidak dapat menentukan pilihan peran strategisnya dengan tepat. Kedua, pengelolaan zakat masih dipahami sebagai sebatas urusan ‘kekuatan’. Sediakan peraturan, tekankan ‘nahi munkar’, komunikasikan resiko atas ketidak patuhan, maka kesadaran akan timbul. Pendekatan ini diterima atas nama strategi mencapai tujuan.
Perbedaan ini sangat kontra produktif. Muzakki dan masyarakat akan melihat pengelolaan zakat sebagai ‘rebutan lahan’, edukasi dipahami sebagai ‘strategi jualan’. Kepercayaan pada pengelola akan tetap rendah dan zakat akan disalurkan secara langsung untuk tujuan karitatif. Yang paling merasakan dampaknya adalah mustahiq, dhuafa.
Tantangan
Tantangan terberat bagi pengelola zakat sehubungan dengan UU 23 2011 adalah keluar dari zona nyaman. Bila kelak Judicial Review tidak menghasilkan keluaran yang diharapkan, pengelola LAZ harus menyesuaikan diri karena mereka tidak lagi dipanggung utama pengelolaan zakat. BAZNAS Propinsi/Kabupaten/Kota yang kini didorong sebagai pemain utama, harus dengan cepat memperkuat kompetensi dan kapabilitasnya.
Kesadaran itu menimbulkan ruang bagi proses komunikasi produktif diantara pengelola zakat, membuka wilayah-wilayah sinergi baru dan pada gilirannya menumbuhkan kesadaran muzakki karena manfaat pengelolaan yang dihasilkan dan dirasakan mustahiq.
Sekali lagi, untuk beberapa tahun kedepan, pengelolaan zakat di Indonesia masih akan berupa urusan kepercayaan pada pengelola, belum sampai pada kepatuhan terhadap penyelenggara pemerintahan.
Sumber: dsniamanah.or.id
Artikel Terkait: