Rabu, 07 November 2012

Menyambut UU Zakat Baru (3)

Pasal-pasal krusial dalam UU No 23 2011 tentang Pengelolaan Zakat
Pasal 5 ayat (1). Untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS.
Pasal 7 ayat (1). Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, BAZNAS menyelenggarakan fungsi: (a) perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; (b) pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian,dan pendayagunaan zakat; (c) pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan (d) pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.
Pasal 17. Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.
Pasal 38. Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang.
Pasal 41. Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pengantar
Pada tulisan sebelumnya, telah dijelaskan bagaimana BAZ & LAZ menyikapi peluang yang muncul dari kelahiran UU 38 1999, bagaimana capaian yang berhasil ditorehkan oleh BAZ dan Z dan LAZ. Tulisan tersebut melengkapi tulisan pertama yang menjelaskan ‘revolusi zakat’ di Indonesia sebagai manfaat UU 38 1999 selama 10 tahun terakhir.
Selain itu, juga dijelaskan perbedaan sangat kinerja BAZ dan LAZ. Meskipun Kepri, Jakarta dan Sul-Sel sebagai contoh menampilkan sosok yang berbeda, secara umum BAZ Propinsi/Kabupaten/Kota masih harus bergulat melepaskan diri dari hambatan internal dan tertinggal jauh dibanding LAZ. Hambatan itu lebih pada cara pandang tentang posisi dan peran yang seharusnya dimainkan oleh BAZ.
Tulisan ini dan tulisan berikutnya mencoba melihat UU 23 2011 berdasarkan latar sejarah pengelolaan zakat di Indonesia. Ini menjadi penting agar pengelolaan zakat secara keseluruhan tidak mundur kembali kebelakang. Khas untuk Indonesia, pengelolaan zakat adalah masalah kepercayaan kepada pengelola, bukan urusan kepatuhan kepada umaro/khalifah seperti dalam sejarah awal Islam.
Pengelola
Kutipan diatas, adalah sebagian dari pasal-pasal dalam UU 23 2011 hasil amandemen UU 38 1999 yang menjadi titik sentral ‘pergulatan’ antara LAZ dengan pemerintah (Kemenag) selama proses amandemen UU 38 1999 sepanjang tahun 2009 – 2011.
UU 23 2011 menempatkan pemerintah melalui BAZNAS (Nasional, Propinsi dan Kabupaten/Kota) sebagai pengelola tunggal zakat di Indonesia dengan fungsi perencanaan-pengendalian-pelaporan pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat. Sementara itu, LAZ diposisikan sebagai ‘pembantu’ BAZNAS.
Wacana pengelolaan tunggal zakat oleh Negara adalah hal yang menggembirakan. Tidak saja ini merujuk kepada banyak Nash dan Hadist yang menjelaskan zakat adalah domain pemerintah, namun juga karena pada akhirnya pengelola zakat memiliki sumber-sumber daya yang lengkap untuk memastikan pengelolaan zakat mencapai tujuannya.
Tata kelola LAZ yang terbukti lebih baik dibanding BAZ, masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. LAZ tidak memiliki akses terhadap tata ruang dan menjadi tak berdaya menghadapi penggusuran usaha dhuafa yang dibiayainya. LAZ tidak memiliki akses pada anggaran sosial dan kesehatan, sehingga seringkali hanya membantu ala kadarnya.
LAZ harus mengeluarkan begitu banyak energy untuk meyakinkan muzakki tentang akuntabilitas program, mengalokasikan sumberdaya berharga untuk ambulance, mobil jenazah dan bis pelajar. Juga mengalokasikan dana besar untuk biaya sekolah dhuafa di institusi swasta, biaya masuk sekolah, buku paket dan seragam sekolah.
Hal-hal tersebut dan banyak hal lainnya sesungguhnya adalah sumberdaya yang tersedia di Negara. Maka bila pengelolaan zakat berada di Negara, pemerintah dapat menggunakan wewenangnya untuk alokasi sumberdaya diatas, sehingga zakat yang masih belum seberapa dapat fokus pada sisi-sisi yang lebih mendasar dan strategis.
Pemerintah memiliki organ perencanaan hingga audit keuangan yang dapat dilibatkan sehingga perencanaan dan pengendalian lebih baik dan utuh. Pengelolaan zakat dibawah ‘satu pintu’ akan membuka peluang zakat dikelola sebagai sesuatu yang integral, utuh dan dengan sumberdaya yang menyeluruh.
Partisipasi Masyarakat
Rumusan akhir pasal-pasal UU hasil amandemen yang menyentakkan pengelola LAZ memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat. Partisipasi tersebut diatur agar ‘tidak dapat bersebarangan’ dengan tujuan pengelolaan tunggal. Penyusun draft memahami bahwa ‘peluang yang sama besar’ seperti pada UU 38 1999 menimbulkan kesulitan bagi proses ‘pengendalian’.
Masyarakat melalui LAZ ditempatkan sebagai supporting dari keseluruhan proses. UU mengatur dengan rinci pembentukan dan pengelolaan BAZNAS disemua tingkatan, sementara pembentukan LAZ diatur dalam satu pasal, berlaku umum dengan tidak menyebutkan adanya tingkatan.
Partisipasi dalam bentuk pengelolaan harus memenuhi serangkaian prosedur yang secara teknis memastikan hadirnya akuntabilitas. Implikasinya, meski dimungkinkan, akan ada ‘seleksi’ untuk memperoleh izin mendirikan LAZ. LAZ juga berhubungan dengan BAZNAS dalam hampir seluruh aspek operasional, utamanya pembentukan dan pelaporan.
UU juga menegaskan manfaat partisipasi masyarakat. Seluruh zakat yang dibayarkan kepada akan mengurangi penghasilan kena pajak, berdasarkan resi yang diterima dari BAZNAS atau LAZ.
Implikasi Teknis
Perubahan posisi pengelola berpotensi menimbulkan implikasi teknis yang tidak sederhana. Pasal 41 misalnya, mengancam kurungan 1 tahun dan/atau denda maksimal Rp. 50jt bagi setiap individu yang menjalankan fungsi amil tanpa izin. Artinya seseorang yang mengelola panti, menerima zakat dari donaturnya dan membelanjakan untuk kebutuhan yatim piatu dipantinya, terkena ancaman pasal ini. Dalam contoh diatas, pengelola dapat saja mendirikan LAZ, tetapi upaya yang dibutuhkan akan menguras sumberdaya panti yang sudah sangat terbatas.
Untuk itu misalnya, secara ideal panti harus memiliki sumber mandiri. Ketika mencoba mengalokasikan dana untuk kegiatan produktif (ekonomi) seperti warung/toko/usaha mikro, LAZ yang membantu akan dihadapkan pada Pasal 27 ayat 2 yang mengatur bahwa distribusi untuk tujuan produktif hanya dapat dilakukan setelah kebutuhan dasar lainnya terpenuhi
Pengaturan ini memastikan keteraturan dan akuntabilitas, namun memberi ruang sangat sempit bagi kegiatan karitatif tradisional yang masih sangat diperlukan ketika layanan sosial & pendidikan masih belum dapat dipenuhi pemerintah.
Hal tersebut juga mendorong pengelola LAZ untuk melestarikan kemiskinan dan ketidak berdayaan dhuafa dengan hanya menjadi penyedia layanan karitatif. Perubahan mustahiq menjadi muzakki yang hanya dapat ditopang oleh perbaikan taraf ekonomi, diserahkan kepada kebijakan ‘mekanisme pasar’ pemerintah yang nyata-nyata belum berpihak kepada kepentingan dhuafa.
Pasal-pasal seperti pasal 17 dan 38 seperti dijelaskan diatas adalah pasal multi tafsir dan sangat berpotensi dimanfaatkan untuk tujuan yang tidak berhubungan langsung dengan manfaat pengelolaan zakat. DSNI telah menerima informasi/pertanyaan dari muzakkinya tentang posisi DSNI terhadap BAZ Kota Batam dalam pengelolaan zakat.
Muzakki tersebut mendapat penjelasan dari petugas BAZ bahwa UU yang baru akan menempatkan LAZ sebagai unit pengumpul yang operasionalnya akan dikendalikan oleh BAZ. Maka, lebih baik baginya untuk menyalurkan zakat langsung ke BAZ karena pada akhirnya zakat yang diserahkan ke LAZ akan tetap disalurkan melalui BAZ.
Masalah Mendasar
Informasi seperti diatas yang terus mengalir, sesungguhnya mencerminkan masalah paling mendasar dalam pengelolaan zakat di Indonesia. Masalah itu adalah anggapan prestasi hanya ditentukan oleh nominal pengumpulan.
Di Batam, bagi pengelola LAZ, kepindahan muzakki dari satu LAZ ke LAZ lain diterima sebagai sebuah hal yang wajar. Kepindahan tersebut lebih disebabkan tawaran program yang lebih pas dengan kebutuhan / minat muzakki. Ini mendorong LAZ untuk terus menerus berkreasi agar mustahiq memperoleh manfaat dari program yang dikemas untuk muzakki. Meskipun bersaing untuk nominal, prestasi diukur dari seberapa besar muzakki merasa puas dengan program yang dikemas. Jumlah akhir pengumpulan akan secara otomatis mengikuti.
Kasus muzakki DSNI diatas menyiratkan bahwa diantara pengelola masih terdapat perbedaan persepsi yang sangat tajam. Bila muzakki DSNI tersebut berpindah ke BAZ, maka DSNI akan memaksa dirinya berbenah dalam komunikasi dan program. Tapi dari sisi pandang pengelolaan zakat yang lebih luas, kepindahan tersebut mencerminkan kondisi yang lebih mengkhawatirkan.
Pertama, minimnya komunikasi dan edukasi. Muzakki masih belum mendapatkan informasi yang benar dan utuh. Ketidak tahuan menyebabkan muzakki tidak dapat menentukan pilihan peran strategisnya dengan tepat. Kedua, pengelolaan zakat masih dipahami sebagai sebatas urusan ‘kekuatan’. Sediakan peraturan, tekankan ‘nahi munkar’, komunikasikan resiko atas ketidak patuhan, maka kesadaran akan timbul. Pendekatan ini diterima atas nama strategi mencapai tujuan.
Perbedaan ini sangat kontra produktif. Muzakki dan masyarakat akan melihat pengelolaan zakat sebagai ‘rebutan lahan’, edukasi dipahami sebagai ‘strategi jualan’. Kepercayaan pada pengelola akan tetap rendah dan zakat akan disalurkan secara langsung untuk tujuan karitatif. Yang paling merasakan dampaknya adalah mustahiq, dhuafa.
Tantangan
Tantangan terberat bagi pengelola zakat sehubungan dengan UU 23 2011 adalah keluar dari zona nyaman. Bila kelak Judicial Review tidak menghasilkan keluaran yang diharapkan, pengelola LAZ harus menyesuaikan diri karena mereka tidak lagi dipanggung utama pengelolaan zakat. BAZNAS Propinsi/Kabupaten/Kota yang kini didorong sebagai pemain utama, harus dengan cepat memperkuat kompetensi dan kapabilitasnya.
Kesadaran itu menimbulkan ruang bagi proses komunikasi produktif diantara pengelola zakat, membuka wilayah-wilayah sinergi baru dan pada gilirannya menumbuhkan kesadaran muzakki karena manfaat pengelolaan yang dihasilkan dan dirasakan mustahiq.
Sekali lagi, untuk beberapa tahun kedepan, pengelolaan zakat di Indonesia masih akan berupa urusan kepercayaan pada pengelola, belum sampai pada kepatuhan terhadap penyelenggara pemerintahan.
Sumber: dsniamanah.or.id
Artikel Terkait:
  1. Undang-undang Zakat, Harapan Baru Indonesia
  2. Menatap Pengelolaan Zakat Setelah Ada UU Baru
  3. Menyambut UU Zakat Baru (1)
  4. Menyambut UU Zakat Baru (2)
  5. Ahli Pemerintah: Penghimpunan Zakat Nasional Baru Capai 0.8%

Menyambut UU Zakat Baru (2)

Dalam tulisan sebelumnya, dijelaskan bahwa kelahiran UU No 38 Tahun 1999 telah merubah secara dramatis dunia zakat di Indonesia. Legalisasi Lembaga Amil Zakat sebagai representasi masyarakat menjadi faktor penentu utama perubahan fundamental tersebut. Dalam kurun kurang dari 10 tahun, dana sosial Islam, utamanya zakat, telah berubah dari pengelolaan ‘seputar Ramadhan’ dan untuk ‘kebutuhan sosial’ fakir miskin, menjadi sebuah kegiatan yang menghasilkan tidak saja layanan sosial gratis, tetapi hingga pendidikan dasar – perguruan tinggi dan tentu saja pemberdayaan ekonomi di begitu banyak pelosok Indonesia.
10 Tahun adalah rentang yang sangat pendek untuk sebuah perubahan mendasar diseluruh wilayah Indonesia. Dan Zakat, adalah sedikit dari yang mampu melakukannya. Sesuatu yang harus disyukuri adalah, perubahan itu dilakukan oleh masyarakat. Ini kemudian membuka pertanyaan berikutnya: potensi apalagi yang masih tertidur? Jawaban pertanyaan tersebut dikaitkan dengan Amandemen UU 38 1999 akan menjadi titik sentral pergulatan pemberdayaan sosial di Indonesia dimasa depan.
Dari sisi pandang keberhasilan zakat sebagai pengentas kemiskinan, prestasi zakat di 10 tahun terakhir, nyaris tidak ada apa-apanya dihadapan problematika kemiskinan umat Islam di Indonesia. Namun bila ditilik dari perubahan yang terjadi, sebuah prestasi besar sedang ditorehkan. Edisi kali ini akan melihat bagaimana prestasi tersebut dihasilkan

Dua Jalan BAZ & LAZ
Dibandingkan dengan BAZ, LAZ lebih berhasil memanfaatkan peluang UU 38 1999, karena tiga faktor.  Pertama, LAZ relatif terbebas dari birokrasi dan kepentingan politik pemerintahan. BAZ terjebak diantara kepentingan politis aparatur pemerintah. Kondisi ini sangat menyulitkan BAZ untuk secara lincah memanfaatkan peluang. Mekanisme penyesuaian struktur dan SDM di LAZ dapat dilakukan kapan saja menyesuaikan kesempatan atau hambatan yang muncul. Hal tersebut tidak dapat dilakukan oleh BAZ sebagai ‘organ’ pemerintah.
Kebijakan operasional LAZ ditentukan oleh sedikit orang menurut kewenangan yang sudah ditentukan, sehingga dapat cepat dilakukan. Struktur LAZ ditentukan utamanya berdasarkan kebutuhan organisasi, BAZ masih harus mengakomodasi kepentingan politis diluar organisasinya. Struktur LAZ lebih ramping, struktur BAZ lebih gemuk dan seringkali lebih kepada kebutuhan prestise.
Kedua, LAZ tidak dapat bergantung pada siapapun kecuali dirinya. Ini memaksa pengelola LAZ untuk tampil lebih agresif dalam menjamin keberlangsungan organisasi dan program-programnya. Pada gilirannya, ini mendorong pengelola menjadi lebih kreatif, adaptif menyesuaikan diri dengan kebutuhan donatur, dan mengembangkan pola komunikasi yang lebih kreatif.
Pengelola LAZ juga harus ‘bersaing’ dengan lembaga sejenis, yang sama agresif dan kreatif. Meski kemudian terlihat perbedaan fokus program, secara keseluruhan, perbaikan yang signifikan pada tawaran layanan, baik bagi dhuafa maupun muzakki.
Sementara itu, secara keseluruhan BAZ melihat pegawai negeri sebagai captive market-nya. Dengan dukungan instruksi vertikal kepala daerah, BAZ lebih fokus pada ‘segmen’nya dengan tingkat kritis yang lebih tidak ketara. Ditambah dengan dukungan anggaran dan fasilitas lainnya seperti PNS yang ditugaskan sebagai pengelola, BAZ tidak menghadapi tekanan nyata seperti LAZ.
Ketiga adalah kepercayaan publik. BAZ berangkat dari posisi yang lebih sulit dibandingkan LAZ. Pengelolaan sebelum UU 38 dilahirkan, tidak segera dapat dihapus dari benak donatur secara keseluruhan. Ketika informasi telah sangat baik, edukasi juga sama baiknya, kesadaran yang timbul berhadapan dengan citra masa lalu. Meskipun telah memperbaiki kinerja, label pemerintah pada BAZ tetap menimbulkan tantangan tersendiri.

Celah Besar
Proses tumbuhnya LAZ yang begitu cepat, menyisakan sebuah celah besar dalam gambar pengelolaan zakat yang lebih luas. Berupaya menjadi lebih baik untuk menarik dukungan telah menjadikan LAZ berhasil tampil menarik dan atraktif, namun tertatih-tatih dalam sinergi dengan lembaga sejenis. Meskipun tidak diakui, dapat dirasakan bahwa tolok ukur keberhasilan masih ada pada kinerja pengumpulan dana.
Dalam teknis yang berbeda, LAZ mengembangkan program yang sama. Pendidikan, santunan sosial dan ekonomi. Keseluruhan program tersebut dikemas dan dikomunikasikan ulang kepada muzakki dan calon muzakki. Tanpa komunikasi yang terjalin, satu dari dua kondisi berikut mudah ditemukan atau diamati. Pertama, satu calon muzakki menerima tawaran dari dua atau lebih LAZ, atau yang kedua satu wilayah mendapatkan perhatian lebih, wilayah yang lain tidak mendapatkan perhatian yang memadai.
‘Perang Iklan/spanduk’ adalah salah satu indikasi yang mudah dilihat, karena lebih sering menampilkan program masing-masing dan amat jarang menampilkan gagasan sinergi antar lembaga. Meski tidak banyak, saling ‘menampilkan kelemahan lembaga lain’ juga sudah dilaporkan oleh calon muzakki. Dengan pencapaian yang demikian besar, hampir tidak ditemukan koordinasi untuk distribusi, baik dari sebaran program maupun wilayah.
Namun kelemahan ini tidak semata hanya pada pengelola LAZ. Dalam contoh yang lain, ‘persaingan’ antara BAZ dan LAZ terjadi dalam tingkatan yang lebih keras. Artinya, apabila dibiarkan secara alami, akan sulit dijumpai dua lembaga pengelola zakat yang mampu membangun komunikasi dan kerjasama pada lingkup yang lebih luas dan mendasar dari apa yang ditunjukkan pada penanganan bencana alam.
Dalam porsi tertentu, sinergi antar lembaga zakat masih belum dianggap sebagai hal yang urgent. Beberapa upaya komunikasi terus dilakukan. Di Batam, beberapa LAZ telah secara aktif bertukar data, terutama menghadapi momen tahun ajaran baru, Idul Fitri dan Qurban. Namun fokusnya masih mencegah penumpukan bantuan pada orang yang sama. Komunikasi itu belum tumbuh pada kerangka kesadaran harus adanya perencanaan kegiatan dan strategi.

Potensi Terbengkalai
Bila sinergi adalah sebuah keharusan, sesungguhnya tersedia alat bantu yang mampu mendorong terwujudnya sinergi lembaga zakat. Alat bantu itu adalah birokrasi kepemerintahan. UU 38 telah mensyaratkan hadirnya ‘pengaturan’ oleh kepala daerah, namun kewenangan tersebut tidak dimanfaatkan secara optimal.
Dihampir semua daerah, kepala daerah menempatkan BAZ sama persis seperti LAZ, mendorong BAZ untuk ‘bersaing’ dengan LAZ dan melupakan perbedaan latar belakang yang sangat tajam yang telah coba diutarakan diatas. Tanpa melanggar UU, kepala daerah bisa menempatkan BAZ bersama dengan organ lainnya (perencanaan pembangunan, pengawasan anggaran) untuk tampil mengisi celah yang masih terbuka.
Kekuatan BAZ adalah dukungan struktural dan akses terhadap organ pengawasan daerah, kekuatan LAZ adalah fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi. Kelemahan BAZ adalah lingkungan birokratif pemerintahan, kelemahan LAZ adalah kesulitan bersinergi. Bila kesemuanya diletakkan diatas meja, mencoba melihat secara jernih, maka terbuka beberapa peluang.
Tahun 2008, diantara sesi pelatihan zakat di Jakarta, pendekatan yang lain coba dibahas dengan utusan BAZ Propinsi dari Sulawesi. Ide yang dibahas adalah: pertama, BAZ tidak didorong menjadi seperti LAZ diwilayah operator sebab BAZ akan sangat kesulitan mengejar ketinggalan. BAZ didorong sebagai supervisor. Kedua, menjadikan BAZ sebagi informal leader didaerah.
BAZ dapat mengajak seluruh LAZ untuk menjalankan program yang dibiayai BAZ, menurut kompetensinya masing-masing. Biaya program dapat berasal dari anggaran pemerintah maupun dana yang dikumpulkan BAZ. Kepala Daerah akan mengaudit program yang dibiayai dengan bantuan sebuah akuntan public. LAZ juga didorong untuk mempublikasikan kinerja program tersebut melalui media massa lokal. Pemerintah melalui anggaran BAZ membiayai audit akuntan publik dan publikasi. Kepala Daerah menggunakan kewenangan yang diberikan UU untuk memastikan seluruh lembaga ikut serta.
Dalam ‘keterpaksaan’ BAZ dan LAZ, akan mulai menghancurkan sekat. Publikasi kegiatan dan hasil audit akuntan publik akan mendorong BAZ dan LAZ menyempurnakan administrasi kegiatannya. Publikasi akan memperbaiki posisi akuntabilitas BAZ dan LAZ, pengelola zakat daerah, secara keseluruhan. Selain itu, BAZ dapat memerankan fungsi informal leader dengan terus menerus mengambil inisatif. Kinerja program tentu saja menjadi kinerja BAZ selaku pemilik program dan penyandang dana.
Tentu akan ada keterkejutan, keengganan dan kesulitan teknis lainnya. Akan ada banyak hal yang perlu dirumuskan. Kuncinya ada diperubahan mendasar cara pandang tentang posisi dan peran BAZ. Pendekatan ini memungkinan terjadinya peningkatan akuntabilitas seluruh lembaga pengelola dan pada saat bersamaan, memicu sinergi yang menjadi kunci peningkatan manfaat pengelolaan secara luas. Pemanfaatan potensi disemua lini ini pada akhirnya mendorong tumbuhnya kepercayaan kepada pengelola zakat.

Tantangan
Pertanyaan mendasar adalah bagaimana memulainya. Tentu saja, perubahan tersebut harus dimulai dari merubah cara pandang terhadap posisi dan peran BAZ. Masih diperlukan waktu sebelum Pemerintah menjadi pengelola tunggal zakat di Indonesia, seperti halnya Malaysia, atau Singapura untuk waqaf. Artinya diantara pengelola zakat (BAZ dan LAZ) masih akan terjadi dinamika yang serupa, dalam bentuk yang berbeda.
UU no 23 2011 sebagai hasil amandemen UU 38 1999 akan merubah wajah pengelolaan zakat di Indonesia. Bila Judicial Review yang sedang dipersiapkan tidak sampai mengubah UU 23 2011 secara mendasar, maka tantangan yang dihadapi akan jauh lebih besar, karena perubahan peran dan fungsi pengelola zakat secara mendasar.
Apapun perubahan yang dibawa oleh hadirnya UU no 23 2011 tidak boleh sampai mengorbankan kepentingan dhuafa/ mustahiq sebagai tujuan utama pengelolaan zakat. Komunikasi, sinergi baik antara BAZ dan LAZ maupun diantara LAZ harus terjadi, karena merupakan syarat mutlak perbaikan kinerja pengelolaan zakat secara umum.

Sumber : dsniamanah.or.id

Menyambut UU Zakat Baru (1)

Setelah bertahun-tahun, akhirnya amandemen UU no 38 1999 tentang pengelolaan zakat selesai. Akhir tahun 2011 lalu, DPR RI mensahkan UU hasil amandemen yang kemudian diberi nomor UU nomor 23 tahun 2011. Sebuah anti klimaks perjuangan panjang dan melelahkan bagi para penggiat zakat.
Proses amandemen tersebut sejatinya dimulai lebih dari 2 tahun lalu. Ketidak setujuan atas UU no 38 yang memberikan masyarakat kesempatan yang sama besar dalam mengelola dana zakat bahkan telah disuarakan secara terpola sejak 2005-2006. Inti pesannya adalah : terdapat bukti-bukti yang kian menguat bahwa masyarakat telah gagal dalam mengelola zakat, dan seharusnya urusan ini dikembalikan kepada Pemerintah. Pertumbuhan fantastis dana yang berhasil dikumpulkan oleh masyarakat tidak diiringi dengan penurunan angka kemiskinan secara signifikan.
Amandemen sendiri sejatinya mencerminkan pergumulan kepentingan. Pemerintah berkepentingan terhadap pemusatan pengelolaan zakat, DPR RI berupaya mengakomodasi kepentingan golongan/ormas yang menjadi konstituennya dan masyarakat berkepentingan menjaga  prestasi dan prestise dari pengambil alihan paksa setengah hati. Keseluruhan elemen menggunakan argumen dasar yang sama : kepentingan mustahiq / fakir miskin.
Pemerintah berkepentingan mengembalikan sesuatu yang asalnya memang diranah pemerintah. Sejatinya, zakat memang ranah pemerintah. Namun di Indonesia telah terjadi ‘kecelakaan sejarah’, dan itu berlaku hingga sekarang. Hanya di Indonesia, zakat dikelola oleh dua unsur : pemerintah dan masyarakat, secara sejajar.
Masyarakat, dalam hal ini LAZ, melihat dari sisi yang berbeda : keberlangsungan program yang terkait erat dengan akuntabilitas, kapasitas, kapabilitas serta kompetensi pengelolaan. Masyarakat memandang diperlukan lebih dari sekedar peraturan berikut ancaman hukumannya untuk mengelola kegiatan yang sudah sangat besar dan menyentuh begitu banyak aspek kehidupan mustahiq/fakir miskin.
DPR yang merupakan representasi politik kelompok masyarakat juga memasukkan kepentingan golongan / kelompok dalam pertimbangannya, baik untuk kepentingan nyata mustahiq/fakir miskin, maupun posisi tawar dalam kancah politik nasional.
Dinamika pengelolaan zakat di Indonesia berkenaan dengan UU no 23 2011 hasil amandemen UU 38 1999 akan coba dipaparkan dalam beberapa tulisan. Edisi ini mencoba menjelaskan terlebih dahulu latar sejarah pengelolaan zakat di Indonesia sebagai dasar untukmendapatkan gambaran yang lebih lengkap bagaimana UU 23 2011 lahir, semangat yang menyelimutinya dan pengaruhnya pada pengelolaan zakat dimasa depan.

Habibie dan UU 38 1999
Sedari awal disadari oleh legislator DPR RI di periode Presiden Habibie bahwa mereka memiliki satu kesempatan emas untuk menumbuhkan dan mengatur masyarakat memanfaatkan sumberdaya mereka sendiri untuk tujuan-tujuan sosial menurut Islam. Ini karena Habibie sesungguhnya hanyalah periode transisi.
Mereka lalu mendesak Habibie agar mendukung terbitnya satu undang-undang yang mengkomodir gerakan baru dalam pengelolaan zakat-infaq-Shadaqah. Di Surabaya misalnya telah muncul Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF), sementara di Jakarta telah juga menggeliat Dompet Dhuafa Republika. Keduanya hanyalah sebagian sanggat kecil organisasi sosial Islam namun dengan tubuh yang sangat baru : manajemen professional.
Keduanya memunculkan harapan baru atas revitalisasi pengelolaan zakat yang masih belum berhasil diperlihatkan oleh BAZIS. Asumsinya, semakin baik pengelolaan, semakin terbuka kesempatan dhuafa mengakses dana sosial Islam karena pulihnya kepercayaan muzakki/donatur.
Maka sebuah draft UU digesa untuk dibahas dan disetujui sebelum akhir periode transisi. Draft tersebut setidaknya memuat dua semangat. Pertama adalah akomodasi.  Kedua organisasi tersebut, mewakili segelintir yang belum muncul kepermukaan, diprediksi akan menjadi gelombang perubahan. Gelombang tersebut memperkuat posisi pengelolaan oleh masyarakat dan ‘melampaui’ BAZIS serta menjadi institusi pengelola dana sosial Islam yang, secara keseluruhan dapat dalam jumlah yang luar biasa besar. Potensi ini kemudian diakomodasi dengan member landasan hukum agar masyarakat dapat secara legal mengelola zakat melalui Lembaga Amil Zakat (LAZ). BAZIS sendiri dirubah menjadi Badan Amil Zakat (BAZ).
Semangat kedua adalah akuntabilitas. Legislator menekankan dengan kuat unsur akuntabilitas melalui serangkaian persyaratan pembentukan organisasi pengelola zakat. Badan hukum yang sah, manajemen data muzakki dan mustahiq, independensi serta audit akuntan publik adalah persyaratan minimal. Hal lain adalah ancaman pidana bagi pengelola untuk pelanggaran azas akuntabilitas.

Ambigu UU No 38 1999
Maka, ketika draft UU tersebut disahkan, ada dua hal besar yang kemudian sangat mempengaruhi sejarah Indonesia dalam mengelola dana sosial Islam, utamanya zakat. Pertama, adalah pencabutan ekslusivitas Pemerintah dalam mengelola zakat. Pengelolaan zakat yang memang adalah hak dan kewajiban mutlak Umara (pemerintah), kemudian diserahkan sebagian kepada masyarakat. BAZ yang mewakili pemerintah dan LAZ yang mewakili masyarakat berada pada posisi SAMA dan SEJAJAR dalam hukum.
Pencabutan hak itu tidak disempurnakan dengan pengaturan peran dan fungsi BAZ & LAZ dalam kaitan koordinasi dan pengawasan. Pengawasan diserahkan kepada Kepala Daerah melalui mekanisme tertentu. Mekanisme yang kemudian terbukti tidak berjalan menyisakan lubang pengawasan karena baik Pemerintah maupun Masyarakat (BAZ & LAZ) sama-sama berada pada wilayah operator (pengelola), ‘bersaing’ dalam merebut hati muzakki melalui program-programnya. Beberapa daerah kemudian melakukan interprestasi dan ‘memaksakan’ BAZ/Depag sebagai pengawas bahkan pengatur.
Pilihan tersebut meski jelas bertentangan dengan UU, namun adalah sesuatu yang dapat dipahami. Ketiadaan pengatur tidak saja memunculkan resiko ketidak tepatan pengumpulan dan penyaluran, namun juga sangat mengurangi peluang sinergi diantara pengelola zakat (BAZ & LAZ). Secara umum, keduanya memiliki dampak negatif terhadap pemulihan kepercayaan muzakki secara keseluruhan.
Upaya tersebut dilakukan pemerintah daerah dengan pendekatan yang berbeda, dan sangat bergantung kepada individu BAZ / Depag.  Pada periode 2004 – 2006 an, BAZ Batam mengambil inisiatif dengan mengajak LAZ membentuk Forum Pengelola Zakat Batam (FPZ-B) yang terlibat aktif di Tsunami Aceh dan Gempa Yogya. Dalam kasus ini, pemerintah melalui BAZ menempatkan dirinya sebagai ‘informal leader’untuk mengisi celah pada UU38 tersebut. BAZ Kepri juga mengambil pendekatan yang sama, yang meski belum terlihat hasilnya, secara umum diterima, juga secara informal. Sementara itu, beberapa daerah lain, seperti pemerintah disebuah kota di Kalimantan melalui BAZ/Depag-nya, mengambil pilihan konfrontatif.
Pergumulan yang terus berlanjut hingga sekarang, kemudian menjadi salah satu faktor pendorong utama amandemen UU38. Meski demikian, hal tersebut tidak sampai menyeruak kepermukaan dan menjadi perhatian masyarakat karena pada saat yang bersamaan, perubahan besar lainnya juga sedang terjadi.
Hal besar kedua adalah tumbuhnya LAZ, baik dalam jumlah maupun cakupan kinerja. Hadirnya UU tersebut mendorong formalisasi pengelolaan dana sosial Islam oleh kelompok masyarakat. Dompet Dhuafa Republika bahkan membentuk Institut Manajemen Zakat (IMZ) untuk mempercepat tranformasi tersebut. IMZ kemudian menjadi ‘sekolah rujukan’ untuk belajar mengelola organisasi pengelola zakat (LAZ & BAZ).
Dalam kecepatan yang mengagumkan, LAZ mendorong perubahan wajah pengelola zakat-infaq-shadaqah, tidak saja dari sisi manajemen, namun juga model interaksi dengan masyarakat, melalui fungsi Fundraising maupun program layanan. Dalam kurun kurang dari 10 tahun, pengelelolaan zakat di Indonesia telah menghasilkan pendidikan formal gratis (SD – Perguruan Tinggi), Layanan Kesehatan gratis, Rumah Sakit gratis, distribusi gizi (daging) dan insentif ekonomi peternakan rakyat ke pelosok menggunakan momentum Idul Qurban, sentra-sentra ekonomi mikro di daerah. Melalui sinergi dengan LAZ lokal didaerah, LAZ skala nasional mendorong dengan cepat perubahan pengelolaan zakat didaerah, melalui pembinaan standar kompetensi.
Capaian akuntabilitas juga tidak kalah baik. Hanya dalam waktu kurang dari 7 tahun, sebuah LAZ lokal di Kota Batam menjadi organisasi pengelola zakat pertama di Indonesia yang memperoleh sertifikasi ISO 9001 tentang manajemen mutu, diikuti oleh BAZNAS di Jakarta dua tahun kemudian. Audit oleh akuntan publik, penggunaan media masa, majalah internal dan website untuk laporan keuangan tahunan telah menjadi standar yang berlaku umum. Meskipun ISO 9001 & audit keuangan tidak berhubungan langsung peningkatan kinerja LAZ, namun sangat membantu memulihkan kepercayaan penyaluran zakat melalui lembaga.
LAZ juga berhasil mendapat pengakuan melalui kerjasama dengan BUMN dan perusahaan publik dalam pengelolaan dana CSR untuk program-program berjangka menengah dan panjang. Program jenis ini menuntut kehandalan perencanaan, pengelolaan kegiatan dan keuangan serta evaluasi berkelanjutan. LAZ pada akhirnya bertansformasi menjadi lembaga pengelola keuangan & program.
LAZ juga mendorong pengelola zakat di Indonesia untuk merubah cara memandang posisi Amil – Muzakki. LAZ meninggalkan pola komunikasi tradisional yang mengedepankan ancaman dosa/siksa neraka/pahala dan aturan/UU/Perda dalam merebut kepercayaan muzakki. LAZ mengembangkan manajemen komunikasi yang menekankan manfaat lebih menyalurkan ZIS melalui program-program mereka, mengakomodasi kebutuhan muzakki dalam program distribusi dan menyediakan layanan yang sangat memudahkan muzakki, serta tentu saja paparan capaian akuntabilitas mereka. Dari sisi standar layanan, pelayanan terhadap pembayar zakat telah serupa dengan pelayanan perusahaan publik terhadap pelanggan mereka.
Celah besar pada UU38 untuk sementara tertutupi oleh keberhasilan pengelolaan zakat secara umum di Indonesia. Masyarakat dalam laju yang menggembirakan, telah memulihkan kepercayaan penyaluran zakat melalui lembaga / organisasi.  Secara bersamaan, pengelola zakat terus menerus mencoba memperbaiki kekurangan UU38, dan mulai mengerucut kepada amandemen UU tersebut.
Secara terpisah, Forum Zakat (FoZ), Kemenag RI dan IMZ  menyusun draft amandemen UU. Ketika proses legislasi telah bergulir, DPR RI juga menyusun draftnya sendiri. Dari sisi pandang pengelolaan zakat versi Indonesia, proses amandemen tersebut menampilkan dinamika yang sangat menarik tentang pergumulan kepentingan, yang sayangnya masih pada hal-hal yang kosmetik, belum pada hal yang fundamental. UU 38 1999 lahir dari proses politik, maka amandemen juga adalah proses politik, dan politik tidak selalunya bersandar pada realita.

Perda Zakat
Ambigu pengaturan juga dapat diamati pada peraturan daerah tentang zakat yang dikeluarkan oleh DPRD di beberapa daerah. Meski dilatari semangat memperbaiki pengelolaan didaerah, perda-perda tersebut masih belum dapat melepaskan diri dari jebakan ambigu : fokus pada pengaturan BAZ, pola hubungan BAZ – LAZ, atau ketidak berhasilan mendorong munculnya bagian pengawasan dan pengaturan. Yang disebut terakhir tentu saja disebabkan oleh UU 38 1999 yang juga dalam posisi yang sama.
Dalam setidaknya dua Perda, termasuk Batam, muatan pengaturan BAZ menominasi pasal-pasal didalamnya, sehingga nyaris dapat disebut sebagai Perda BAZ. Perda-perda tersebut belum atau tidak memberikan ruang bagi pendekatan berbeda yang dapat meningkatkan kinerja pengelolaan zakat secara umum didaerah. BAZ didorong sebagai operator, tidak dikondisikan sebagai informal leader. BAZ bekerja dengan pendekatan LAZ, meninggalkan potensi-potensi  besar yang tidak dimiliki LAZ, terbengkalai begitu saja.
Terlepas dari hal-hal yang harus disempurnakan, kelahiran UU38 telah mendorong ‘revolusi’ pengelolaan zakat di Indonesia. Perlahan, sebagian dhuafa, fakir miskin mendapat manfaat pengelolaan, sebagian untuk jangka pendek, sebagian akan merasakannya kemudian
Maka, amandemen UU 38 seharusnya untuk memperbaiki kelemahan fundamental yang tidak dapat diselesaikan oleh legislator sebelumnya. Namun setidaknya untuk saat ini, mayoritas penggiat zakat merasakan amandemen tersebut justru tidak pada hal-hal fundmental yang seharusnya diperkuat, kecuali upaya menempatkan kembali pemerintah sebagai pengelola tunggal zakat di Indonesia.
Sebuah ironi dari sesuatu yang benar.

Sumber : http://www.dsniamanah.or.id

Minggu, 04 November 2012

SiMBA ( Sistem Manajemen Informasi BAZNAS )

Oh ya, pada tanggal 31 oktober saya baru saja selesai mengadakan pelatihan penggunaan sebuah sistem aplikasi untuk operatornya nanti. Nama sistem aplikasinya itu adalah SiMBA. It stands for Sistem Manajemen Informasi BAZNAS (nah, now you know where i worked in. Yes, i'm an amil zakat :]). Apa sih SiMBA itu? Yuk, kita kenalan dulu yuukk,, :D 

Tentang SiMBA

SiMBA merupakan sebuah sistem yang dibangun dan dikembangkan untuk keperluan penyimpanan data dan informasi yang dimiliki oleh BAZNAS secara nasional. Selain itu SiMBA juga dilengkapi dengan fitur pencetakan pelaporan yang meliputi ~33 jenis laporan yang berbeda. Dengan berbasiskan web, aplikasi yang memiliki kepanjangan Sistem Manajemen Informasi BAZNAS ini adalah sistem yang tersentralisasi sehingga dapat digunakan oleh seluruh badan atau lembaga zakat diseluruh nusantara tanpa harus melewati proses instalasi yang rumit.

Fitur

Beberapa fitur yang dimiliki SiMBA adalah:
  • Penghimpunan Dana Zakat dan Infak / Sedekah
  • Penyaluran dan Penggunaan Dana Zakat dan Infak / Sedekah
  • Pencatatan Aset (termasuk aset kelolaan)
  • Mencetak Bukti Setor Zakat
  • Menerbitkan Kartu NPWZ
  • Manajemen Anggaran
  • Mencetak 89 jenis laporan yang standard

Preview


Naaah.... gimana udah kenal dikit kan? Yaa gapapa dikit aja dulu jangan banyak-banyak. Lagian juga ini kan buat informasi aja sih. :p

Lumayan panjang juga yaaa waktunya.... pasti pesertanya pada mabok juga tuh ikut kalo full ikut pelatihannya. Ditambah lagi materinya menyinggung soal kode-kode akuntansi yang isinya angka, angka, dan angkaaa melulu. Padahal cuma sebagian kecil aja pesertanya yang basic pendidikannya akuntansi. Hihihih,, Tapi untung sistem aplikasi ini user friendly banget. Jadi nanti si user cuma tinggal melakukan pencatatan data aja, gak perlu pusing-pusing bikin jurnal dan pelaporan-pelaporan secara manual. Tinggal pilih menu Laporan, klik jenis laporan apa yang mau dibuat, trus pilih periodenya, langsung muncul deh laporannya. Keren, huh? Ya iyalaaah..... yang bikinnya emang pada keren-keren sii.... Siang malem banting tulang berbulan-bulan bikin aplikasi ini sampe lupa makan lupa tidur (peace ya pak bos! :]) hampir tiap hari gak henti-hentinya brainstorming sama orang-orang akuntansi, keuangan, penghimpunan, penyaluran, and bla bla bla. Belum lagi harus mempelajari soal fikih-fikih mengenai zakatnya. Ditambah lagi aplikasi ini dibuat untuk mengcover pencatatan aktivitas penghimpunan/penyaluran seluruh BAZNAS Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Indonesia sehingga semua datanya terintegrasi. Top markotop deh emang...

untuk lebih lengkapnya silahkan : KLIK DISINI


Sepertinya segitu aja bisa gw ceritain (dan yang bisa gw rangkai kalimatnya yang pasti! I'm a bad story teller, yes!). Status sistem aplikasi ini pun kini masih terus dilakukan pengembangan oleh para ahlinya. Semoga dengan adanya aplikasi ini data muzaki [1], mustahik [2], total penghimpunan, total penyaluran, dan potensi dana zakat nasional dapat tersaji dengan valid nantinya. Aaamiiin.....

Good nite, pals. Wasalam. :)

Reference :

sumber :
http://devri-bukittinggiwisata.blogspot.com/



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...